Tuesday, March 8, 2011

Pendekatan Pascakolonial dalam "Student Hidjo" dan "Rasa Merdika" Karya Mas Marco Kartodikromo

Judul Asli: 
Hilang dan Terbuang: Kritik Sastra Pascakolonial Dua Karya Marco Kartodikromo


 Novi Diah Haryanti
novi.diah@gmail.com
Makalah belum diedit yang terbitkan Jurnal Semiotika edisi 10(1) Januari-Juni 2009

Abstrak 
            Esai ini, bertujuan mengulas bagaimana Marco sebagai the other melihat  identitas yang ia tuangkan dalam karya-karyanya yang digolongkan sebagai ‘bacaan liar’ oleh pemerintah kolonial Belanda. Pembacaan terhadap karya-karya Marco, diharapkan dapat menggambarkan sosoknya sebagai sastrawan, wartawan, dan perintis kemerdekaan, serta menempatkan kembali Marco si anak hilang ke dalam khasanah sastra Indonesia.
Penelitian akan dilakukan pada dua karya Marco yaitu: Student Hidjo (2000) dan Rasa Merdika (1924). Metode deskriptif analisis dengan teori pascakolonial akan digunakan untuk melihat dan membongkar konstruksi budaya konstruksi budaya putih global yang dilakukan Barat terhadap Timur. Sehingga, dapat membuka mata kita akan dampak permanen kolonialisme yang sampai sekarang masih dapat dirasakan. Salah satu dampak yang digambarkan Marco adalah perasaan rendah diri dan mengganggap bangsa Barat adalah dewa yang dipuja. Pembacaan terhadap kedua novel tersebut juga memperlihatkan kritik Marco terhadap pemerintah kolonial yang menempatkan pribumi sebagai kelas terendah dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang membuat pribumi (Bumiputera) menjadi kuli di negerinya sendiri.     

Kata kunci: Marco Kartodikromo, bacaan liar,  kelas, antiimperialisme

1. PENDAHULUAN
            Novel sebagai bagian dari karya sastra modern Barat masuk ke Indonesia pada masa kolonial Belanda. Berbagai fenomena, karakteristik dan praktik kolonialisme Belanda di Indonesia dan perlawanan pribumi sebagai dampak dari kolonialisme banyak direpresentasikan dalam karya sastra Indonesia. Endraswara (2003) mengungkapkan Sebagai karya sastra yang terbit di dunia ketiga, karya sastra merefleksikan dua hal yang bertolak belakang di masa kolonial. Pertama, terjadinya simbiosis antara kaum penjajah dan terjajah. Kerjasama yang baik antara keduanya, seringkali menciptakan sistem kehidupan yang baru. Kedua, adanya sikap saling ejek, tak setuju, represif dan hubungan yang ambivalen. Refreleksi kedua ini yang tampak dalam karya-karya Mas Marco Kartodikromo yang dengan eksplisit membongkar dominasi yang dilakukan pemerintah kolonial lewat pelabelan kelas-kelas sosial dan berbagai kebijakan yang merugikan bumiputera.
Terbitnya buku Bakri Siregar pada 1964 berjudul Sedjarah Sastra Indonesia Modern, menempatkan Marco yang menulis dengan bahasa Melayu rendah sebagai pelopor sastra Indonesia modern (Faruk, 1999). Marco jugalah yang pertama kali melancarkan kritik terhadap feodalisme dan kolonialisme atas dasar perjuangan kelas. Sedangkan Yulianeta (2008) mengungkapkan novel-novel yang ditulis Marco berbau propaganda politik. Hal itu tampak ketika masih aktif di Sarekat Islam Marco menulis Student Hidjo (1919), dan setelah bergabung dengan komunis ia menulis Rasa Merdika (1924). 
            Student Hidjo pertama kali diterbitkan oleh NV Boekhandel en Drukkerij MASMAN & STROINK Semarang pada 1919. Pada 1918 novel ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di harian Sinar Hindia. Buku ini diterbitkan kembali dengan dua versi pada tahun 2000 oleh Bentang dan Aksara, keduanya penerbit yang berasal dari Yogyakarta.  Novel Student Hidjo yang digunakan dalam penelitian ini adalah terbitan Bentang yang sudah menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD) dan memiliki tebal 170 halaman. 
            Student Hidjo adalah novel yang menggambarkan kehidupan priyayi Jawa dengan kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, salah satunya kemudahan memperoleh pendidikan. Suasana pergerakan, terutama Sarekat Islam, menjadikan novel ini kental dengan suasana politik. Cerita dimulai dengan keinginan orang tua Hidjo menyekolahkannya ke Belanda agar mengangkat derajat keluarga. Demi keinginan sang ayah, Hidjo pergi ke Belanda meninggalkan keluarga dan tunangannya, Biro. Dengan keyakinan kuat bahwa ia tak akan terpengaruh dengan budaya Barat karena sangat memegang teguh budaya Timur, Hidjo berjuang untuk tetap pada identitasnya sebagai bangsa Hindia. Tetapi karena benturan budaya yang terus-menerus dialaminya, ia menjadi goyah tergoda dengan perempuan Belanda bertubuh seksi.
            Berbeda dengan Student Hidjo yang menampilkan modernitas kaum muda pada masa pemerintah kolonial Belanda (Shiraisi, 2005) dan peran Sarekat Islam sebagai organisasi perjuangan, Rasa Merdika yang ditulis Marco setelah persinggungannya dengan komunisme membuat novel ini kental isu kelas sosial. Lewat Rasa Merdika, Marco mencoba membongkar bagaimana kapitalisme mendorong bangsa Hindia kepada kemiskinan. Hal tersebut tampak dari pembagian upah (gaji) yang sangat rendah bagi buruh serta harga sewa tanah yang sangat murah sehingga memaksa petani-petani menjadi kuli di kota untuk sekadar mencari makan.
            Cerita dalam novel Rasa Merdika terpusat pada tokoh Soedjanmo, maka tak mengherankan jika novel ini memiliki subjudul Hikajat Seodjanmo. Cerita dimulai dengan keresahan Soedjanmo yang terpaksa menuruti keinginan Bey Soemo untuk magang menjadi pegawai pemeritah. Tapi berbeda dari pemikiran keluarganya yang hidup untuk melayani pemerintah kolonial, Soedjanmo merasa hidupnya bukan untuk mengabdi dan menyembah-nyembah kepada ‘pembesar’. Terlebih lagi keharusan untuk berjongkok dan merangkat hanya untuk bertemu dan berbicara dengan tuan controleur Vlammenhart, hal itu tidak sesuai dengan kata hatinya yang menganggap semua manusia memiliki kelas dan derajat yang sama. Maka setelah enam bulan bekerja dengan tuan Vlammenhart, Soedjanmo memutuskan pergi mengembara. Dalam pengembaraannya tersebut, Soedjanmo melihat berbagai ketimpangan sosial. Terlebih ketika ia bertemu dengan Kromo Tjiloko, petani yang terpaksa pergi ke kota dan menjadi kuli karena sawahnya ‘dirampas’ oleh pemerintah kolonial untuk dijadikan perkebunan tebu sebagai penyokong pabrik-pabrik gula. Kegelisahan Seodjanmo mulai berkurang takkala ia bertemu Sastro dan Nyi Endang. Pasangan suami istri itulah yang mengenalkan Seodjanmo pada dunia pergerakan lewat sebuah vergadering yang membicarakan tentang internasionalisme. Cerita ditutup dengan kisah cinta Soedjanmo dan Soepini, seorang gadis yang juga peduli dengan nasib bangsanya.
            Hartanto (2008) mengungkapkan, sebagai sosok yang konsisten dalam berjuang,  Marco memenuhi kriteria-kriteria sebagai tokoh dalam pergerakan Indonesia. Pertama, Marco berhasil di bidangnya sebagai seorang wartawan Bumiputera yang mendirikan sekaligus mengawaki surat-surat kabar di masa pergerakan. Kedua, berhasil menerbitkan karya-karya yang monumental. Ketiga, Marco mempunyai pengaruh pada masyarakat di jamannya, ia dikenal sebagai wartawan yang berani menyuarakan kaum tertindas di Hindia Belanda. Keempat, Marco adalah tokoh yang layak untuk disebut tokoh sekaligus ditokohkan. Perlawanannya terhadap penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dilakukan sejak ia masih remaja hingga akhir hayatnya.
            Namun, perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda itupula, yang membuat Marco disingkirkan dan dibuang ke Boven Digoel. Karya-karyanya yang dilabeli bacaan liar, membuat karya tersebut hilang dari peredaran dalam waktu yang sangat lama. Baru pada masa reformasi di tahun 2000 sosok Marco kembali lagi hadir lewat Student Hidjo yang diterbitkan ulang oleh Bentang dan Aksara.
            Setelah diterbitkan kembali di tahun 2000, setidaknya ada lima penelitian yang secara khusus membahas Marco[i]. Pertama adalah penelitian Harjito (2002) yang merupakan tesis di Universitas Gadjah Mada (UGM) berjudul Student Hidjo  Karya Marco Kartodikromo: Analisis Hegemoni Gramscian yang mencoba melihat formasi ideologi dalam novel tersebut dan negosiasi ideologi yang terjadi dalam masyarakat. Kedua, penelitian Paul Tickell (2006) berjudul Cinta di Zaman Kolonial: Ras dan Roman dalam sebuah Novel Awal Indonesia yang dimual dalam buku Clearing a Space; Kritik Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Modern, pada artikelnya tersebut Tickell mencoba mendefinisikan apa yang dilakukan Marco terhadap wacana ras dan identitas dalam novel Matahariah yang dimuat sebagai cerita bersambung di Sinar Hindia pada 1918-1919. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Sunu Warsono (2007) berjudul Rasa Merdika Sebagai Propaganda dan Perlawanan Politik yang merupakah makalah dalam Seminar Internasional Kesastraan bertema “Sastra dan Negara”. Penelitian tersebut mengulas mengenai gagasan (isi) apa yang terdapat dalam Rasa Merdika sehingga novel tersebut masuk dalam kateori bacaan liar. Keempat, penelitian Yulianeta (2008) berjudul Cap Bacaan Liar Pada Novel Propanganda Politik (Telaah atas Student Hidjo, Hikayat Kadiroen, dan Rasa Merdika), merupakan makalah pada Konfrensi Internasional Kesusastraan XIX yang diselenggarakan oleh HISKI. Makalah tersebut membahas mengenai hadirnya cap bacaan liar melalui telaah ketiga novel tersebut. Kelima, penelitian Agung Dwi Hartanto (2008) berjudul Karya Lengkap Marco Kartodikromo; Pikiran Tindakan dan Perlawanan yang diterbitkan dengan edisi terbatas oleh I: Boekoe. Buku yang disusun dengan perspektif sejarah tersebut berisi perjalanan hidup Marco sejak ia lahir. Untuk melengkapi buku tersebut, Hartanto memasukan beberapa karya utuh Marco ke dalam buku tersebut. Selain kelima penelitian tersebut, buku Takashi Shiraisi (1997) berjudul Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, sangat membantu saya dalam memahami politik pada masa itu.
            Untuk membedakan dengan penelitian yang telah ada sebelumnya, saya memulai esai ini dengan menghadirkan sosok Marco Kartodikromo dan apa saja yang dilakukannya dalam dunia pers dan pergerakan. Selanjutnya saya akan mengulas, bagaimana pemerintahkan kolonial menghadirkan Balai Pustaka untuk memenuhi kebutuhan bacaan masyarakat Hindia-Belanda dan meredam berbagai bacaan politik yang ditulis oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional (salah satunya Marco) yang kebanyakan berisi propaganda politik hingga diberi label ‘bacaan liar’. Terakhir, saya akan coba melakukan pembacaan terhadap dua karya Marco, Student Hidjo (versi Bentang, 2000) dan Rasa Merdika (1924) dengan pendekatan pascakolonial untuk melihat pengaruh apa saja yang telah ditanamkan pemerintah kolonial Belanda terhadap jajahannya (Hindia). Operasi pembagian kelas berdasarkan ras juga akan menjadi salah satu fokus saya dalam meneliti dua karya Marco tersebut. 

2. Marco Kartodikromo: Jurnalis dan Perintis Kemerdekaan
            Marco Kartodikromo lahir di Cepu pada 25 Maret 1890. Lewat pengakuan Marco dalam persdelictnya yang dimuat dalam Sinar Djawa, ia merupakan keturunan kelima dari Mas Karowikoro, sedangkan sumber lain menyebut Marco adalah anak seorang asisten wedana (Hartanto, 2008). Ia lulus dari sekolah bumiputra Angka Dua di Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputra Belanda di Purworejo. Menurut Shiraishi (1997), Marco adalah anggota kaum muda yang diciptakan oleh pendidikan gaya Barat, ia dapat membaca bahasa Belanda, tetapi kemampuan menulis dan berbicaranya tidak terlalu baik. Hingga tak mengherankan jika semua tulisannya dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Pada 1905, Marco bekerja sebagai juru tulis di Dinas Kehutanan sebelum akhirnya pindah ke Semarang menjadi juru tulis di Nederland Indische Spoorweg (NIS), perusahaan swasta di Hindia Belanda yang menangani masalah jawatan kereta api. Dari perjalanan menggunakan kereta api, Marco melihat bagaimana gerbong dibuat berdasarkan kelas, sesuai dengan warna kulit dan status sosial. Kelas satu diperuntukan bagi orang Eropa, kelas dua untuk orang Eropa berpenghasilan rendah, orang Timur asing, dan pribumi kelas atas. Kelas tiga (kelas kambing) bagi pribumi miskin (Hartanto, 2008). Setelah enam tahun bekerja di perusahaan tersebut, semangat nasionalismenya berkobar. Ia tidak bisa lagi bertahan untuk bekerja pada perusahaan Eropa yang sangat rasialis, membedakan golongan jabatan dan gaji atas dasar ras (Yuliati, 2008).  
            Pada 1911, Marco meninggalkan Semarang menuju Bandung, bergabung dengan Medan Prijaji sebagai magang. Di surat kabar yang diperuntukan bagi bangsa jang terprentah itulah Marco memulai kariernya sebagai jurnalistik dan berguru dengan Tirto Adhi Soerjo dan Soewardi. Sebagai seorang Jurnalis, ciri khas yang paling kentara dari seorang Marco adalah  ia selalu  menulis apa yang dilihat dan dirasa secara lugas. Tanpa ditutupi-tutupi. Tidak juga serba dipoles-poles, hingga melenyapkan esensinya[ii]. Dan ketika Medan Prijaji bangkrut, Marco bergabung dengan Sarotomo pada 1912, sebagai editor dan administrator.
            Pada usia dua puluh dua, Marco terjun ke dunia pergerakan. Terinpirasi dari Tirto dan Soewardi, yang menerbitkan surat kabar sendiri dan mengatakan apa yang ingin dikatakannya, maka Marco melakukan hal yang sama. Ia mendirikan Inlandsche Journalistenbond (IJB), di Semarang pada 1914 dan menerbitkan Doenia Bergerak sebagai surat kabar IJB. Doenia Bergerak adalah surat kabar yang dibesarkan dan membesarkannya. Marco menjadikannya sebagai alat untuk menyampaikan gagasan akan sebuah perjuangan yang modern, dengan motto: “Brani karena benar takut karena salah” (Anomin,  2004).
            Marco yang peka terhadap kondisi di sekelilingnya, melihat bagaimana bumiputera menjadi orang miskin di negerinya yang kaya raya. Maka di Sarotomo edisi 10 November no.142, 1914, Marco mengakronimkan Welvaart Comisse (Komisi Kesejahteraan Hindia Belanda) menjadi WC, jamban yang jorok dan beraroma busuk (Hartanto, 2008). Akronim tersebut, tentu saja membuat Rinkes marah dan menulis surat teguran kepada pemimpin Sarotomo, Haji Samanhoedi, yang juga merupakan pemimpin Sarekat Islam.
            Tak cukup sampai disitu, Marco pun melancarkan “perang suara” dengan Rinkes, penasihat urusan bumiputera, melalui Doenia Bergerak. Surat teguran Rinkes yang mengatakan bahwa artikel Marco dalam Saratomo adalah bohong belaka, dimuat Marco dalam Doenia Bergerak dan menempatkannya sejajar dengan artikelnya sendiri yang berjudul “Marco: Pro of Contra Dr. Rinkes”. Menurut Shiraishi (1997), dalam melancarkan perang tersebut, ada tiga hal yang saling berhubungan. Pertama, bahasanya sangat keras semisal Welvaart Comisse diubahnya menjadi WC. Kedua, setiap kali ia menuliskan Doktor yang dimiliki Rinkes selalu dibubuhi dengan kata doekoen dalam tanda kurung. Ketiga, jika Soewardi masih menuliskan “Als ik eens Nederlander was”, Marco malah menulis “seandainya saya orang ketjil” dan mengatakan bahwa semua manusia sama.
            Doenia Bergerak terbit dari pertengahan 1914 sampai pertengahan 1915, tulisannya yang terus mengritik keras pemerintah, membuat Marco kerap dituntut dengan tuduhan persdelicten. Empat surat pembaca yang ia muat dalam Doenia Bergerak, membuat Marco dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara.[iii] Keluar dari penjara di Semarang, Marco tinggal di Belanda selama lima bulan, dan masuk penjara lagi di Weltevreden, dari Februari 1917 sampai Februari 1918, pada masa itulah Marco menulis syair “Sama Rata Sama Rasa”. April 1920, untuk ketiga kalinya Marco dituntut atas tuduhan persdelict karena syair “Sjairnja Sentot”. Ketika akhirnya ia bebas dari penjara, Marco meninggalkan Semarang dan bergabung dengan CSI Yogyakarta sebagai wakil sekertaris CSI. Akan tetapi tak lama berselang, ia mundur dari dunia pergerakan karena melihat ambruknya pergerakan dengan pecahnya CSI.
            Pada September 1921, Marco pindah ke Salatiga, namun lagi-lagi ia dituntun atas tuduhan persdelict untuk tulisannya Rahasia Kraton Terboeka, Matahariah, dan arikel dalam jurnal Pemimpin (Shiraishi, 1999). Desember 1923, Marco kembali ke Salatiga setelah menjalani hukuman selama dua tahun di Weltevreden. Ia memilih bergabung dengan PKI dan tampil di muka umum sebagai anggota PKI pada Vergadering SI Merah Salatiga, Februari 1924. Akhirnya Marco tiba di Boven Digoel pada 21 Juni 1927, terkait pemberontakan PKI pada 12 November 1926.[iv] Hingga pada 19 Maret 1932, Marco Kartodikromo meninggal dunia dikarena penyakit malaria.
            Selama rentang waktu 1890-1932, tulisan-tulisan Marco hadir dalam berbagai bentuk seperti artikel, cerita bersambung, roman, novel, babat, dan syair. Pada 1914 Marco menerbitkan roman Mata Gelap, buku itu menurut Marco hanya berisi cerita biasa dan hanya boleh dibaca oleh orang dewasa (Hartanto, 2008). Dua karyanya terbit di Harian Sinar Hindia pada tahun yang sama, yaitu Student Hidjo yang terbit pertama kali pada 1918 dan muncul sebagai buku pada 1919; Matahariah yang terbit antara Agustus 1918 sampai Januari 1919.[v] Pada 1924 Semarang Hitam diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung dan pada tahun yang sama menerbitkan Rasa Merdika dengan nama samaran Soemantri.[vi] Tak hanya itu, beberapa syair yang ditulisnya pun menjadi perhatian, seperti Sama Rasa Sama Rata (1917), Sjair Rempah Rempah (1919), dan Sjairnja Sentot (1920). Selain piawai menulis fiksi, Marco membuktikan diri bahwa ia pun mampu menulis nonfiksi dengan membuat Babad Tanah Jawa yang terbit berseri di majalah bulanan Hidoep pada 1924 yang merupakan usaha Marco untuk mengembalikan sejarah Jawa dari Belanda ke Indonesia. Tulisan-tulisan Marco yang berisi gugatan dan perlawanan, membuat karyanya diberi label “bacaan liar” oleh pemerintah. Label bacaan liar itulah yang membuat karya-karya Marco disingkirkan bahkan perlahan dileyapkan oleh pemerintah dalam kurun waktu yang sangat lama.

3. Poskolonialisme dalam Student Hidjo dan Rasa Merdika 
Secara etimologis poskolonial (pascakolonial) berasal dari kata “post” dan kolonial, sedangkan kata kolonial berasal dari akar kata “colonia” bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan dan konotasi eksploitasi lainnya. Konotasi negatif kolonial timbul sesudah terjadi interaksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai dengan penduduk pendatang sebagai penguasa (Ratna, 2007).
Ada waktu yang cukup lama, yaitu antara abad ke-17 sejak dimulainya imperialisme, hingga bekas-bekas koloni memperoleh kemerdekaannya pada paruh pertama abad ke-20, sebelum lahirnya teori pascakolonialisme. Konsep dasar pascakolonial berdasarkan pemikiran Said (2001) mencoba menggugat wacana tentang Timur sebagai suatu produksi ilmu pengetahuan yang mempunyai landasan ideologis dan kepentingan-kepentingan kolonial. Lewat Orientalisme, Said melihat perbedaan yang tidak dapat dihapuskan antara superioritas Barat dan inferioritas Timur. Didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga, dan berbagai modus penyebaran pengetahuan, wacana tersebut menciptakan mitos dan stereotip tentang Timur yang dikontraskan dengan Barat. Timur merupakan koloni Eropa yang terbesar, terkaya dan tertua, juga salah satu imagi yang paling sering muncul tentang bentuk “dunia yang lain”. Timur telah memunculkan sifat constructedness atau pengkonstruksian terhadap identitas budayanya yang diciptakan dan dibangun oleh berbagai bentuk narasi, teks, dan dikuatkan oleh lembaga, tradisi dan praktis. Timur telah membantu mendefinisikan Barat sebagai imagi, idea, kepribadian dan pengalaman yang berlawanan dengannya (Said, 2001).
Manneke Budiman menjelaskan konsep pascakolonialisme sebagai kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan “jejak-jejak” kolonialisme dalam konfrontasi “ras-ras, bangsa-bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan” yang terjadi dalam lingkup “hubungan yang tidak setara” sebagai dampak dari kolonisasi Eropa atas bangsa-bangsa di ‘dunia ketiga’ (Day dan Foulcher, 2006). Secara praktis pascakolonialisme bekerja dalam dua tataran. Pada tataran pertama, pascakolonialisme diartikan sebagai upaya untuk menjelaskan pascakolonialisme yang melekat pada teks-teks tertentu. Sedang pada tataran kedua, upaya untuk menyingkap dan membongkar (dekonstruksi) kekuasaan kolonialisme yang teraktualisasi dalam wacana sastra pascakolonial. Wacana sastra pascakolonial adalah wacana sastra yang melihat secara kritis hubungan kekuasaan yang terjadi dalam sistem kolonialisme yang terlihat dalam teks-teks sastra (Hartono, 2005).
Dalam novel Student Hidjo dan Rasa Merdika, hubungan kekuasaan yang terjadi adalah hubungan yang tidak setara, dominasi, dan menindas yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap pribumi baik secara fisik ataupun wacana. Hubungan yang tidak setara tersebut terjadi kerena adanya identitas bentukan kolonial, yaitu bagaimana kolonial memasukan pribumi ke dalam kelompok sosial tertentu berdasarkan berbagai lapisan identitas, seperti etnisitas, agama, gender, ras, kelas, seksualitas, dan profesi. Seperti diungkap Barker (2004) identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan Anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dengan orang lain. Sehingga identitas bukan hanya soal deskripsi diri melainkan juga label sosial, karena itu perbedaan antara kulit hitam atau putih, lelaki atau perempuan, Afrika atau Amerika akan mempengaruhi apa saja yang dapat kita akses. Maka tak mengherankan jika seseorang memiliki identitas sebagai wong cilik, sulit baginya untuk mendapatkan hidup yang layak, pendidikan yang tinggi dan diperlakukan secara manusiawi, karena wongciliktiyang alit atau orang kecil yaitu petani, buruh dan pekerja kasar - berada dalam kelas sosial terendah di bawah  Europeanen, yaitu orang Belanda dan orang Belanda Indo; Vreemde Oosteringen, orang Timur Asing, diantaranya: orang Tionghoa, Arab, India dan lain sebagainya; Inlanders atau pribumi yang memiliki kedudukan terhormat seperti raja, priyayi, dan pengusaha (Koentjaraningrat, 1984)
a. Student Hidjo  
            Sejak awal, novel Student Hidjo telah memperlihatkan keinginan para tokoh agar ‘diakui’ dan dihargai sebagai manusia. Hal tersebut tampak dari keinginan Raden Potronojo untuk menyekolahkan Hidjo ke Belanda, untuk meningkatkan derajat keluarganya yang dipandang sebelah mata karena hanya berstatus saudagar.
                Waktu ini, orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement. Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani. Maksud saya mengirimkan Hidjo ke negeri Belanda itu tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja. Buktinya anak kita juga bisa belajar seperti regent-regent dan pangeran-pangeran. (hlm. 3)
             
Sebagai pribumi Raden Potronojo berada pada strata terendah lapisan masyarakat Hindia, di bawah orang Eropa dan orang Timur Asing. Hal ini membuat hubungan yang terjadi merupakan model statis di mana kekuasaan dan wacana kolonial dimiliki sepenuhnya oleh penjajah, sehingga tidak terdapat ruang untuk negosiasi dan perubahan. Tidak hanya itu pekerjaannya sebagai saudagar, sekali lagi menampatkan Raden Potronojo berada pada lapisan menengah masyarakat Jawa, di bawah golongan priyayi. Hal ini yang kemudian menimbulkan masalah baru bagi Raden Potronojo. Tidak hanya dihina oleh Belanda, sebagai masyarakat Jawa dia terbiasa untuk ‘merendah’ terhadap priyayi yang berstatus lebih tinggi darinya. Itulah yang membuat Raden Potronojo bersikeras menyekolahkan Hidjo ke Belanda. Baginya, dengan menyekolahkan Hidjo ke Belanda, dia telah membuktikan bahwa sebagai pribumi pun ia tak jauh beda dengan para regent, pangeran, dan gouvernement yang pernah menghinanya, dan membuktikan bahwa dasarnya manusia memiliki derajat yang sama. Tidak hanya itu Raden Potronojo pun sadar pendidikan merupakan jalan untuk menaikan status sosial seseorang. Dengan melanjutkan sekolah ke Belanda diharapkan Hidjo dapat menaikkan derajatnya sebagai pegawai governement, yang tidak hanya diisi oleh golongan priyayi luhur, namun juga mereka yang memiliki kemampuan berbekal pendidikan model Barat.  
Hal ini yang membuat Hidjo menikmati langsung dampak dari politik etis.  Hidjo sendiri digambarkan sebagai sosok yang telah menyelesaikan sekolahnya di Hollandsche Burgerscholen (HBS) dan mendapatkan Diploma Eindexamen (ujian akhir). Kegemarannya membaca buku dan belajar, membuatnya menjadi salah satu lulusan terbaik. Bahkan kepandaian Hidjo melebihi kepandaian anak pangeran dan regent.  Karena itu Raden Nganten merasa pendidikan Hidjo sudah cukup untuk menjadi seorang priyayi.
Novel Student Hidjo dibuat pada tahun 1918, delapan belas tahun setelah Belanda memberlakukan program Politik Etis. Dengan diberlakukannya program politik etis, Belanda membuka sekolah untuk para pribumi, khusunya golongan priyayi. Sekolah-sekolah yang didirikan Belanda cederung digunakan untuk memenuhi kebutuhan Belanda akan tenaga ahli. Agar dapat belajar di sekolah-sekolah Belanda, anak-anak pribumi diwajibkan untuk mengerti dan memahami bahasa Belanda (Koentjaraningrat, 1984). 
Bagi pribumi yang dapat berbahasa dan mengikuti pola pikir orang Belanda, mereka belum tentu mendapat penghargaan dan pengakuan yang pantas. Bagi Belanda pribumi tetap bodoh, pribumi tetap dipandang rendah dan tidak berbudaya. Pandangan yang sudah tertanam jauh dibenak bangsa Belanda. Hal ini yang kemudian dialami Hidjo dalam perjalannya ke Belanda. Ditemani seorang leerrar (guru)  HBS, Hidjo terjepit keadaan serba susah saat ia harus melayani perempuan-perempuan Belanda yang tergila-gila padanya tapi juga menghinannya sebagai orang Jawa. Hinaan tersebut terlontar saat Hidjo, Anna, Jetje, berjalan-jalan melihat panorama di pulau kecil yang berada di sebelah barat daya Sumatra.
     “Tadi Anna Berkata bahwa Tuan orang Jawa dan bodoh...”
     “Ya, memang, meski Tuan kandidat insinyur, tetapi Tuan orang bodoh”, kata Anna untuk mengguncangkan hati Hidjo, “orang Jawa bodoh, cis!”   (hlm. 30-31)

Sebagai pribumi sikap Anna yang secara tidak langsung menindas Hidjo bukan hal yang baru. Karena itu, ia berusaha tertawa, sabar dan bersikap tenang menghadapi gadis Belanda yang terus menggodanya dengan candaan berbau rasialis. Sikap merendahkan bahkan menindas yang dilakukan bangsa Belanda kepada pribumi juga ditampilkan Marco lewat sosok Sergeant Djepris yang dalam gambaran Marco “tidak saja Sergeant Djepris itu terlalu sombong dan meninggikan diri layaknya saudara Raja Nederland. Tetapi dia amat menghina kepada orang-orang bumiputera, yang telah membikin hidupnya menjadi senang” (hlm. 142).
            Tidak cukup diletakan pada lapis terbawah, pribumi kerap menjadi hinaan penjajah. Apalagi mereka yang bukan golongan priyayi, bagi penjajah wong cilik hanya budak (jongos), pekerja kasar yang bisanya digambarkan suka mencuri, tidak beradab, dan tidak dapat dipercaya. Hal tersebut memperlihatkan kontradiksi yang paling mencolok tentang kolonialisme adalah bahwa Barat merasa perlu “mengadabkan pihak-pihak lain” (Timur) dan memasukkan mereka dalam suatu “kelainan” yang permanen (Loomba, 2003).  Bangsa Hindia (Timur) menjadi Other dari superioritas bangsa Belanda (Barat). Ketika orang Jawa ‘kotor’ maka Belanda ‘bersih’, orang Jawa bodoh maka orang Belanda pintar (mahatau), orang Jawa malas maka orang Belanda adalah pekerja keras, dan pandangan lainnya yang mengesahkan kolonialisme di Hindia. Pandangan bangsa Belanda terhadap Hindia terlihat dari kutipan berikut.
      ”Orang Jawa kotor. Orang Jawa bodoh, orang jawa malas, orang Jawa tidak beschaafd. Pendeknya orang Jawa atau orang Hindia itu adalah bangsa yang paling busuk sendiri!” (hlm. 144)

   Lebih tajam, gambaran tentang dominasi dan penindasan yang dilakukan penjajah (Belanda) di tanah Hindia terlihat jelas dalam kutipan artikel bertajuk ‘Bangsa Belanda di Hindia’ berikut ini.
Pada waktu itu bangsa bumiputera diinjak-injak, diperas, dan diambil kekuatan serta uangnya. Anak-anak bumiputera (terlebih bangsa Jawa) yang bisa mem-beda-kan orang sesuai dengan kelas sosialnya, atas dan bawah, memandang orang Belanda sebagai kelas atas. Bangsa yang tinggi. (MK, 2000: 150-151)

Pencitraan buruk bangsa Hindia juga didapat dari surat kabar di Nederland. Kejelekan bumiputera sering kali menjadi pemberitaan karena ‘kebetulan’ mereka kerap berurusan dengan bumiputera. Salah satunya adalah jongos (babu) yang sering berbohong dan mencuri. Namun surat kabar di Nederland tidak pernah memberitakan kejelekan pemerintah yang dalam proses kolonialisasi menginjak-injak bumiputera serta memeras dan mengambil kekayaan bangsa Hindia hingga Belanda Kaya. Sehingga bangsa Belanda di Nederland mengenal bangsa Hindia sebagai bangsa yang ‘terbelakang’.
Tak hanya bercerita mengenai penindasan yang dilakukan oleh penjajah, dalam novel Student Hidjo, Marco melakukan perlawanan dan menggugat wacana yang telah tertanam dalam diri pribumi. Perlawanan Marco ini yang membuatnya disingkirkan oleh pemerintah kolonial karena ia menyuarakannya dengan lantang. Salah satu pikiran radikanya tampak pada saat Hidjo tiba pertama kali di negeri Belanda.  Sebagai pemuda Jawa yang datang ke Belanda, Hidjo dihormati karena anggapan biasanya pemuda Jawa yang mampu bersekolah ke Belanda tentu orang kaya. Melihat sikap merendah bangsa Belanda, Hidjo teringat orang Belanda di Hindia yang biasa bersikap arogan, sombong dan merasa paling mulia. Hingga Hidjo tidak lagi takjub dengan bangsa Belanda yang merasa memiliki derajat lebih tinggi di Hindia. Perasaan Hidjo terlihat dari kutipan berikut.    
     Kedatangannya di situ, Hidjo dihormati betul oleh para pelayan hotel. Sebab mereka berpikir, kalau orang yang baru datang dari tanah Hindia pasti banyak uangnya. Lebih-lebih kalau orang Jawa. Maka dari itu Hidjo tertawa dalam hati melihat keadaan serupa itu. Karena ia ingat nasib bangsanya yang ada di tanah airnya sana dihina oleh bangsa Belanda.
    “Kalau di Negeri Belanda, dan ternyata orang-orangnya Cuma begini saja keadaaanya, apa seharusnya, orang Hindia musti diperintah oleh orang Belanda.
...mulai saat itu Hidjo bisa memerintah orang-orang Belanda. Orang yang mana kalau di tanah Hindia kebanyakan sama bersifat besar kepala. (hlm. 46)
Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana wacana mengubah kehidupan suatu bangsa. Ketika di Hindia, wacana superioritas Belanda yang tertanam di benak pribumi, mampu memposisikan Belanda sebagai tuan dari bangsa Timur.  Namun, keadaan itu berubah saat Hidjo datang ke Belanda. Ketika wacana yang berkembang adalah kayanya orang Jawa hingga mampu datang ke Belanda, maka pribumi (Hidjo) mampu menjadi tuan atas golongan rendah bangsa Belanda.
Perpindahan bangsa Belanda ke Hindia Belanda yang dimulai lewat masuknya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan berujung pada penjajahan bangsa Belanda kepada Hindia, menimbulkan banyak perubahan dikalangan pribumi salah satunya perubahan budaya. Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yaitu Eropa (Belanda) dan Timur, yang mempunyai struktur sosial berbeda. Akibat, pertemuan tersebut budaya Barat mempengaruhi berbagai bidang dan unsur budaya, termasuk ketujuh unsur universal budaya utama (seven cultural universals) yag dimiliki suku Jawa (Soekiman, 2000). 
Hal tersebut yang dialami Hidjo, pengaruh kebudayaan Belanda (Barat) terlihat dari caranya berbicara dalam bahasa Belanda, mengenakan pakaian necis ala Eropa, menggunakan alat transportasi modern yang hadir seiring kedatangan bangsa Belanda, mengikuti kebiasaan dan etika pergaulan Eropa –mulai dari sikap, sampai menyesuaikan lidahnya dengan makanan dan minuman asal Eropa (Belanda) –juga  menjunjung tinggi ilmu pengetahuan yang didapatnya lewat pendidikan Belanda. Kebiasaanya hidup ala Eropa tersebut, memudahnya dalam menjalani kehidupan di negeri Belanda. Maka tak mengherankan jika ia mampu beradaptasi dan mengambil hati keluarga direktur, sehingga Hidjo diperkenankan tinggal bersama mereka.
            Selama tinggal di Belanda, Hidjo tidak pernah berpikir untuk menjadi bagian dari bangsa yang telah menjajahnya. Perasaan nyaman yang didapat dari keluarga direktur, serta rasa cinta ditunjukan oleh  Betje anak gadis direktur, tidak cukup untuk melunturkan rasa cinta Hidjo pada bangsanya. Keinginan Hidjo untuk kembali pulang ke tanah Jawa, terus mengusik lantaran krisis identitas yang dialamainya setelah pergaulan bebas dengan Betje. Di satu sisi ia menyesal dengan perbuatan yang dilakukannya dengan Betje, tapi di sisi lain dia menikmati kehidupan barunya. Akhirnya untuk melepaskan diri dari kebimbangan Hidjo pergi menyepi ke Amsterdam. Tak lupa ia berpuasa agar maksud yang diinginkannya tercapai. Pada tahap ‘penyepian’ ini sikap ketimuran Hidjo mengalahkan dominasi budaya Barat yang dipegangnya. Hingga akhirnya, untuk lepas dari krisis identitas yang terus dialaminya, Hidjo memilih kembali ke tanah Jawa. Pilihan Hidjo untuk kembali ke tanah Jawa, terlihat dari kalimat berikut.
     Saya harus pulang kembali ke tanah Jawa!” .... “Sebab kalau saya terus belajar di Negeri Belanda ini, barangkali tidak mustahil kalau saya akan terus menjadi orang Belanda, karena saya tentu akan menikah dengan gadis Belanda. Kalau saya sampai melakukan hal itu, sama artinya dengan meninggalkan sanak famili dan bangsaku. Bah!... Europeesche beschaving! (budaya Eropa) (hlm. 105)
            Pilhan untuk kembali pulang, menegaskan walaupun Marco tergila-gila pada simbol modernitas dan tampil di depan umum dalam gaya Eropa (Shiraishi, 1997), hati dan jiwanya adalah milik bangsanya, bangsa Hindia. Untuk memutus cinta Betje, Hidjo memberikan Betje buku yang telah diberi namanya dan memberikannya uang sebesar f.1000. Hidjo, pribumi berkulit hitam (cokelat) menjadi tuan dari Betje gadis Belanda yang bercucuran air mata saat ditinggalkan olehnya. Bagi Hidjo sendiri, perkaranya dengan Betje telah selesai karena ia telah memberikan Betje uang f.1000, bentuk superioritas lain yang ditunjukan lewat kepemilikan uang. Hal ini membuktikan bukan hanya bangsa Barat yang mampu merendahkan bangsa Timur dengan uang, namun bangsa Timur pun dapat melakukan segalanya jika mempunyai uang. Lewat kenyataan inilah Marco mencoba membongkar superioritas Barat dengan menampilkan sosok Hidjo yang berhasil menarik hati Betje. Jika selama ini pemuda Jawa lupa akan tanah airnya karena jatuh cinta dengan gadis Belanda, Hidjo malah memutus cinta Betje dan memilih kembali ke negerinya.      
Dalam novel ini Marco pun menggambarkan salah satu peristiwa sejarah besar yaitu kongres (vergadering) Sarekat Islam di Solo. Sarekat Islam membawa banyak mimpi dan harapan bagi masyarakat Hindia. Lahirnya organisasi ini juga menandakan perlawanan kaum muslim terhadap penjajahan yang menimbulkan kesengsaraan di tanah Hindia. Perayaan akbar yang dilakukan ini, jelas bukan menggambarkan perayaan yang biasa dilakukan orang Jawa, karena dibuat dalam konsep yang modern. Orang boleh datang dengan pakaian sesuai seleranya, Jawa, Eropa atau Arab. Pesta ini menjadi pesta rakyat karena para pemimpin SI, priyayi pemerintah, orang particulier, dan pedagang duduk di kursi sejajar dengan pangeran dan pejabat tinggi, hingga karena pengaruh Sarekat Islam tidak ada lagi perbedaan diantara manusia, mereka yang berderajat tinggi atau rendah semua sama. Bagi pribumi kelas bawah vergadering merupakan hal yang baru dan luar biasa. Keistimewaan moment vergadering inilah yang membuat para tokoh terpelajar dalam novel ini –Wardojo, Woengoe, Biroe, dan Prajodo – tak mau ketinggalan untuk ikut ambil bagian. Bahkan dengan bangga Wardojo menyatakan diri sebagai anggota Sarekat Islam (hlm138). Ratusan orang berkumpul menyuarakan hal yang sama, memperbaiki nasib orang Islam yang sudah ratusan tahun diijak-injak (hlm.128). Selain keinginan untuk memperbaiki nasib keinginan Marco yang lain pun terlihat dari kutipan berikut, “hanya saya hendak membuka mata bumiputera supaya jangan sampai keterusan....” (hlm. 51).
b. Rasa Merdika
Tak hanya berani tampil sebagai anggota PKI pada Vergadering SI Merah Salatiga, Februari 1924, di tahun yang sama Marco menulis Rasa Merdika yang ketal dengan ajaran Marx. Sunu Wasono (2007) mengungkapkan Rasa Merdika adalah “novel gagasan” yang cenderung memberi tekanan lebih pada ide/gagasan dengan mengabaikan unsur lain. Para tokoh dalam novel tidak mengalami perkembangan karakter, hingga tegangan, konflik, dan kejutan kurang dapat dirasakan.  
Soedjanmo adalah tokoh utama dalam Rasa Merdika. Walaupun dilahirkan sebagai anak bangsawan, tidak lantas membuat Soedjanmo bercita-cita menjadi pegawai negeri seperti ayah dan kakak-kakanya. Kebiasaanya bercakap-cakap dan berkumpul dengan orang miskin, membuat Soedjanmo dapat merasakan penderitaan wong cilik (kromo). Soedjanmo pun memiliki kebiasaannya membaca berbagai macam buku “jang mentjeriteraken tentang keadaan pergaoelan hidup oemoem,” (hlm.9), yaitu pergaulan yang setara tanpa adanya pembagian kelas sehingga tak terjadi dominasi dan sikap merendahkan diri yang ditunjukan dengan berjongkok-jongkok dan merangkak pada seseorang yang dianggap lebih berkuasanya darinya –baik pemerintah kolonial atau golongan priyai. Kebiasaan bergaul dengan wong cilik dan membaca berbagai buku itulah yang membuat Soedjanmo gelisah pada saat Bey Soemo meminta anaknya untuk magang menjadi pegawai negeri. Kegelisahan Soedjanmo tampak dari kutipan berikut.
     Betapakah saja mesti berboeat...boekanlah, saja keberatan boeat mendjabat pegawai negeri, asal sadja sipatnja dalem, peperintahan itoe tidak menjisihken dan meperbedaken antara golongan-golongan dalem pergaulan hidoep bersama.... meskipun akoe bekerdja setengah mati dalem pekerdjaankoe, toh akoe aken ta’dapet membikin apa-apa bagi menolong kromo keloear dari kesengsaraan... (hlm9).
            Jika diuraikan nama Soedjanmo berasal dari akar kata soe yang artinya “baik” dan djanmo yang artinya “manusia” (Wasono, 2007), arti itulah yang membuat Marco menggambarkan Soedjanmo sebagai sosok yang tidak hanya memikirkan hidupnya, tapi juga orang disekelilingnya. Ketika Bey Soemo memintannya untuk magang menjadi pegawai, Soedjanmo tak menolak. Ia mengabaikan rasa tidak sukanya pada sistem yang mengharuskannya tunduk dan patuh dengan pemerintah kolonial, karena tak ingin membuat kedua orantuanya yang sudah lanjut usia menjadi sedih. Maka berangkatkan Soedjanmo dan bey Soemo menghadap controleur, tuan Vlammenhart.
            Sebagai pengkritik pemerintah kolonial, Marco tak pernah takut menulis apa yang ingin ia tulis. Pengalamannya keluar masuk penjara, membuat Marco semakin kencang menyuarakan perlawanannya. Hal itulah yang tampak dalam novel Rasa Merdika, tokoh-tokoh yang dibuat Marco menjadi bagian penting dari kritik yang dilakukannya. Misalnya, dalam novel ini Marco menggambarkan orang Belanda sebagai orang yang gila hormat, licik, dan serakah karena berusaha mengeruk habis kekayaan bangsa Hindia serta memiskinkan pribumi. Penggambaran Marco mengenai orang Belanda tampak dalam kutipan berikut.
                 Meskipoen ia doeloe ada dilahirken di tanah Europa, tetapi sekarang ia soeka sekali dihormat-hormati oleh pegawai-pegawainya dengan memakai adat boemipoetra....
                 Toean Vlammenhart,... tingkah lakoenja terlaloe kasar, perkataannja tadjem-tadjem terhadap pada lain orang,hingga boleh dibilang ia hampir-hampir ta’ menghargai diri lain orang, lebih-lebij pada pegawai-pegawainja (hlm.13)
            Sikap gila hormat tuan Vlammenhart membuat bey Soemo melakukan tradisi merungkuk-rungkuk yang menunjukan rasa takutnya. Melihat tingkah bapaknya yang sudah tua, Soedjanmo menjadi malu dan kasihan, hingga terpaksa ia meniru perbuatan yang tidak disetujuinya (hlm.11). Sikap tidak suka Soedjanmo terbaca oleh tuan Vlammenhart yang heran melihat cara Soedjanmo berbicara dengannya. Hingga ia meminta bey Soemo untuk mengajari ‘dengan betul’ bagaimana adat seorang pegawai negeri.
Hubungan yang terjadi dalam novel Rasa Merdika dalah hubungan tuan dan budaknya (kulinya), tentu saja penjajah sebagai majikan dan bangsa terjajah sebagai kulinya. Sebagai kaum pemilik modal, pemerintah kolonial Belanda merasa berhak melakukan apapun di tanah jajahannya. Menurut Eagleton (2002) Marx melihat hubungan sosial antar manusia terkait dengan cara mereka berproduksi dalam kehidupan material. Dimulai dengan hubungan sosial antara budak dan majikan yang dikenal dengan feodalisme, pada tahap selanjutnya hubungan kelas kapitalis yang menguasai alat produksi dengan kaum proletar yang tenaganya diperas guna mendapat keuntungan.
Kefeodalismean itulah yang disadari oleh Soedjanmo, hingga ia memutuskan keluar dari kerjaannya sebagai calon pegawai negeri. Sedangkan hubungan antara kelas kapitalis dan kaum proletar hadir lewat cerita Kromo Tjiloko yang mendapat tekanan untuk menyewakan sawahnya dengan harga sangat murah kepada pabrik gula buat ditanami tebu. Hal itulah yang membuat Kromo Tjiloko terpaksa pergi meninggalkan desa serta anak dan istrinya “ke kota besar boeat mentjari penghidoepan. Barangkali orang di sana bisa memakai saja sebagai koelie” (hlm. 41).
Lalu muncullah superstuktur (kesadaran sosial) yang bersifat politis, religius, etis, estetis, yang disebut ideologi. Superstruktur tersebut juga berbentuk hukum/ negara yang berfungsi melegitimasi kekuasaan kelas sosial yang memiliki alat-alat produksi ekonomi (Eagleton, 2002). Pada akhirnya, pandangan yang dominan  dalam masyarakat merupakan pandangan dari kelas yang berkuasa. Karena pandangan dominan dalam masyarakat adalah pandangan dari kelas yang berkuasa, maka tak mengherakan jika orang-orang “kecil” dari kelas kromo, menerima dengan ikhlas apa yang pemerintah kolonial inginkan dan menganggapnya sebagai takdir.  
            Cerita Kromo tjiloko semakin menyadarkan Soedjanmo, ada sesuatu yang salah di negerinya. Salah satunya yang Soedjanmo rasakan adalah kesenjangan sosial yang tampak dari kutipan berikut.
     Tetapi, mengapakah sekarang ada kota sebesar sematjem ini dimana akoe lihat banjak orang kerdja, orang soesah, orang pajah, sebaliknja ada orang plesir, senang-seneng keroemoean kian kemari....? Sampai disni Soedjanmo berpikir, laloe berenti karena ia ta’mendapetken akal oentoek mendjawabnja. (hlm. 44)
Tak ingin membiarkan Soedjanmo terlalu lama kebingungan, Marco menghadirkan sosok Satro. Sastro adalah figur baru bagi Soedjanmo, guru yang membuat ia menemukan jawaban dari resah yang membuatnya pergi mengembara dari satu kota ke kota lainnya. Ia mengenal Sastro karena sama-sama bekerja pada sebuah firma yang dipimpin oleh orang Belanda. Lewat tokoh Sastro, pengarang memasukan ide komunis kepada Soedjanmo (Yulianeta, 2008).  
            Sastro dan Nji Endang, istrinya, tidak hanya cakap secara fisik tapi juga memiliki perhatian pada persoalan-persoalan bangsanya. Ketiganya kerap “membitjaraken tentang kedjadian-kedjadian dilain-lain tempat jang terdape dari kabar-kabar jang termoeat dalam soerat kabar...kaoem boeroehjang dengan berani membitjaraken segala apa jang penting bagi kaoem kaoem boeroeh” (hlm.62). Maka, pada saat diadakan vergadering yang membahas tentang nasionalisme dan internationalisme, Soedjanmo tak ragu untuk ikut bersama Satro dan Nji Endang.
            Vergadering menjadi ajang bagi pengarang untuk menyampaikan paham tertentu, yaitu internasionalisme. Sastro dan Soedarmo adalah dua tokoh yang ‘bertugas’ memberi pemahaman tentang faham tersebut. Dari perbicangan antara Sastro, Nji Endang, dan Soedjanmo kita tau apa yang membendakan antara nasionalisme dan internasionalisme, seperti berkut ini.
     Internationalisme itoelah hanja satoe djalan oentoek mempersatoeken antara bangsa-bangsa dalem doenia ini...soepaja dengan begitoe tidak tidak timboel kebentjian dari beberapa golongan bangsa itoe. Sebab sebagaimana kejakinan kaoem nasionalisten, atau orang-orang jang gila kebangsaan, maka ia hanjalah meninggi-ninggiken deradjat bangsaja, sebaliknja merendahken bangsa lainnja (hlm.64)
            Vergadering ternyata tidak hanya ditunggu oleh kaum halus atau pertengahan seperti Sastro, Nji Edang, dan Soedjanmo tapi juga kaum kromo yang mulai “memikirkan boetoehnja, jaitu keboetoehan boeat pengetahoean pergaoelan hidoep bersama” (hlm.74). Untuk menjelaskan tujuan dari internasionalisme yang sedang ramai diperbincangkan, Soedarmo, yang juga seorang jurnalis, tampil sebagai pembicara dalam vergadering.
            Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pembicaraan Soedarmo. Pertama, kekuasaan modal telah memusnahkan tanah-tanah ketjil (vaderland) dengan membuka lahan tersebut sebagai pasar jajahannya yang menyebabkan kemiskinan bagi bangsa yang dijajah. Kedua, terpecahnya bangsa menjadi dua golongan yaitu golongan kaya yang mempunyai segala sumber penghasilan dan berkuasa atas penghidupan dan politik serta golongan miskin (proletar) yang tidak memiliki apapun. Ketiga, penghisapan yang dilakukan kelas kapital, menyebabkan kelas proletar terusir dari desa dan menjadi kuli di kota-kota besar untuk mencari makan. Inilah yang membuat kota menjadi sesak karena penuh dengan kaum proletar.  Keempat, kaum kapital tidak cinta pada tanah tumpah darahnya, ia hanya cinta pada tanah yang bisa memberi untung padanya. Kelima, seruan Soedarmo untuk menyatukan berpuluh-puluh bangsa di dunia menjadi “satu bangsa” yaitu bangsa dunia. Dengan menjadikan dunia sebagai tumpah darah, kaum buruh bersama-sama menuntut perbaikan nasipnya untuk hidup lebih aman, tentram, tanpa rasa benci yang menyebabkan pertikaian darah.
Tidak hanya menyampaikan paham internasionalis, Marco juga membongkar apa yang Said sebut sebagai sifat constructedness atau pengkonstruksian terhadap identitas budaya yang diciptakan dan dibangun oleh berbagai bentuk narasi, teks, dan dikuatkan oleh lembaga, tradisi dan praktis. Dalam Rasa Merdika, pengkonstruksian tersebut diterima dengan baik oleh kaum kromo seperti yang ditunjukan oleh Muhamad Abdulgani yang percaya bahwa: 1) kemiskinan tidak berasal dari kapitalisme melainkan kodrat Tuhan, 2) orang menjadi miskin karena boros dan menjadi kaya karena bisa mengumpulkan harta, 3) perang adalah sah, 4) kaum buruh tidak bisa memerintah negeri sendiri, 5) dua golongan kasta mesti ada. 
Apa yang diungkapkan oleh Abdulgani sama dengan apa yang dipikirkan Kromo Tjiloko. Dengan sadar, kedua tokoh tersebut menerima kemiskinan dan menganggapnya sebagai takdir Tuhan. Penerimaan itulah yang coba dilawan Marco dalam Rasa Merdika, yaitu dengan menyakinkan para tokoh kromo –dan pembaca –bahwa kemiskinan bukanlah karunia yang patut diterima melainkan sebuah perkara yang harus dilawan. Tak lupa, Marco menyelipkan pesan pada saat penutupan vergadering, “moedah-moedahanlah pembitjaraan-pembitjaraan jang mengandoeng peladjaran bagi tiap-tiap bangsa doenia itoe bisa masoek dalem pikirannja masing-masing orang jang mendengarken” (hlm.89)
Rasa Merdika ditutup dengan kisah cinta antara Soedjanmo dan Soepini. Kecantikan, kepintaran, dan rasa peduli terhadap orang lain, membuat Soedjanmo tergoda untuk mencintai perempuan. Keinginannya untuk mendapat istri seperti Nji Endang, akan terealisasi jika ia mampu menaklukan hati Soepini. Maka selain berjuang menyelamatkan kaum kromo, Soedjanmo pun harus berjuang mendapatkan cinta Soepini yang diam-diam juga mencintainya.

4.Simpulan
            Mas Marco Kartodikromo yang menulis dengan bahasa Melayu rendah merupakah salah satu pelopor sastra Indonesia modern. Tidak hanya menulis sastra, Marco adalah sastrawan, jurnalis, dan perintis kemerdekaan yang sepanjang hidupnya berjuang melawan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Jika kata adalah senjata, Marco memakainya dengan sangat baik. Lewat karya-karyanya ia mengkritik bangsa Belanda dengan bahasa yang lugas, tegas, dan keras. Itulah yang membuat Marco empat kali merasakan pahitnya sebagai orang terpenjaran sebelum akhirnya meninggal di Boven Digoel.
            Student Hidjo dan Rasa Merdika adalah novel propaganda yang dibuat Marco untuk menyampaikan paham atau ideologi tertentu. Dengan gaya khasnya, Marco menyuarakan golongan tertindas/wong cilik/kaum kromo, lewat sosok Hidjo, Raden Potronojo, Soedjanmo ataupun Kromo Tjiloko.
Novel Student Hidjo yang dibuatnya pada saat ia menjadi anggota Sarekat Islam, memperihatkan perjuangan kelas bawah (pribumi) agar lebih dihargai dengan menggunakan berbagai simbol modernitas. Lewat golongan terpelajar yang terdapat dalam novel tersebut, Marco melontarkan wacana semua manusia adalah sama. Jika orang Jawa selama ini memegang teguh sistem feodalisme, pada vergadering Sarekat Islam, manusia berbagai golongan/kelas datang untuk menghadiri acara tersebut dan duduk sama rata. Selain itu, Marco juga bermain-main dengan superioritas Belanda. Hal itu tampak lewat tokoh Hidjo yang menikmati kejadian saat ia memerintah orang Belanda dan mencampakkan cinta Betje. Bagi Hidjo, menjadi orang Belanda bukanlah kebanggan, rasa cinta bangsanya membuat ia memilih pulang ke tanah Jawa. Selain itu lewat Student Hidjo, Marco berpesan jangan sampai bangsa Hindia terus merendahkan diri dihadapan bangsa Belanda yang hidup dari hasil memeras tanah Hindia.
Sebagai bacaan propaganda Rasa Merdika kental sekali dengan ajaran Marx. Lewat dialog-dialong yang panjang dan perdebatan antartokoh, Marco mengungkapkan kemiskinan terjadi karena kaum kapitalis terus memaksa kaum kromo (proletar) untuk bekerja baginya. Ketika semakin banyak kaum kromo yang tak mampu menghidupi keluarganya, maka mereka pindah menuju kota menjadi kuli (buruh). Kesejangan kelas inilah yang ditentang habis-habisan dalam Rasa Merdika. Tokoh putih seperti Soedjanmo, Soerjo, Soedarmo, Nyi Endang menyuarakan penghapusan kelas dan mencoba membuka wacana kaum proletar yang kebanyakan percaya bahwa kemiskinan adalah takdir Tuhan. Maka, sudah sepatutnya kaum buruh bersatu menjadi bangsa dunia dan bergerak melawan penindasan dan kapitalisme.
Pembacaan yang hanya dilakukan pada dua karya Marco telah memperlihatkan bagaimana perjuangan Marco melawan hegemoni yang telah ditanamkan oleh pemerintah kolonial selama 350 tahun. Pandangan negatif yang timbul akibat label ‘bacaan liar’ yang dberikan oleh pemerintah kolonial, sudah semestinya ‘dibersihkan’. Menilik peran dan jasa Marco yang besar terhadap bangsa ini, sudah saatnya ia diakui keberadaannya sebagai salah satu perintis  sastra Indonesia modern. Membawa karya-karya Marco ke sekolah dapat menjadi salah satu cara untuk memperkenalkan sosoknya ke generasi muda. Tidak hanya itu, karya-karyanya yang sarat dengan perjuangan, dapat menumbuhkan sikap kritis (critical thinking) dan kesadaran historis bagi pembacanya. Maka peran pemerintah, penerbit, dan guru, sangatlah penting untuk memberikan alternatif bacaan yang selama ini didominasi oleh novel-novel Balai Pustaka.


Novel Student Hidjo  Terbitan Bentang
  


     [i] Penelitian tersebut tidak hanya terkait novel  Student Hidjo tapi juga karya-karya Marco yang lain. Maraknya penelitian mengenai Marco, memperlihatkan perannya yang sangat penting dalam khasanah sastra, dunia pers, dan pergerakan di Indonesia. Penelitian dan penerbitan kembali karya Marco, dalam pandangan saya merupakan salah satu upaya untuk mengenalkan sosok Marco ke generasi yang tidak mengenalnya.
     [ii] Lihat tulisan berjudul Mas Marco Kartodikromo: Dengan Sastra, Ia Mengasah Pena,
     [iii] Marco menolak memberitahu penulis surat pembaca dan menyatakan bahwa ia siap bertanggung jawab penuh terhadap surat pembaca yang isinya sama dengan apa yang ia perjuangankan. (Lihat Shiraishi, 1999)
     [iv] Lihat tulisan pengatar Koesalah Soebagyo Toer, di buku Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel (2002)
     [v] Ulasan mengenai novel Matahariah, lihat Paul Tickell (2006), Cinta di Zaman Kolonial: Ras dan Roman dalam sebuah Novel Awal Indonesia.
     [vi] Penggunaan nama Soemantri inilah yang membuat Anderson (2002) dalam catatan kakinya menulis “Pada tahun 1924, seorang sahabat dan sekutu politis Marco menerbitkan sebuah novel berjudul Rasa Merdika”.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...