Monday, June 20, 2011

Analisis Puisi “Sia-sia” Karya Chairil Anwar

ajining sastra ana ing ukara, nilai sastra ada pada kalimat/kata.

Puisi adalah salah satu bagian dari karya sastra yang menggunakan kata sebagai senjatanya. Padatnya Konstruksi kata-kata pada puisi, memaksa kita untuk mampu meraba-raba apa yang sebenarnya ingin disampaikan penyair. Tidak mudah tentunya, karena itulah berbagai macam kajian dan analisis pun dilakukan, baik oleh para ahli atau hanya sebatas penginterpretasian makna kata oleh pembaca itu sendiri. Seperti yang di ungkapkan Sutardji Calzoum Bachri “... menulis cerpen adalah upaya menentramkan imajinasi, sedangkan menulis puisi adalah membiarkan imajinasi liar”

Analisis puisi Sia-sia, Charil Anwar.   
Sia-sia                                                                                   
Penghabisan kali itu kau datang                                
Membawa karangan kembang                                    
Mawar merah dan melati putih:                      
Darah dan suci                                                           
Kau tebarkan depanku                                               
Serta pandang yang memastika:  Untukmu     

Sudah itu kita sama termanggu
Saling bertanya : apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti

Sehari itu kita bersama. Tak hampir- menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
(versi DCD))
Deru Tjampur Debu
            Setelah membaca puisi di atas secara keseluruhan, kita dapat mengetahui subjek lirik (aku) dalam puisi Sia-sia, adalah Chairil Anwar sendiri. Hal ini dapat terlihat dari tiap-tiap larik:
... ... ...
Darah dan suci                                                           
Kau tebarkan depanku                                               
Serta pandang yang memastika:  untukmu
... ... ...
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
... ... ...
Pada puisi ini, subjek lirik terlihat jelas dengan peng’aku’an si penulis. Tapi satu pertanyaan lain yang akan muncul di benak kita setelah membaca puisi ini adalah siapa ‘kau’ yang dimaksud Chairil, apakah ia Sri Aryati yang sangat mengganggu dengan senyum dan kerling matanya, lalu ada gadis Mirat yang lugu dan meyerah, Hapsah yang kemudian menjadi istrinya, Dien Tamaela kah, atau Ida?
          Pelaku kedua, dalam hal ini pendengar adalah ‘kau’. Siapa dia dan apa hubungannya dengan penulis?
... ... ...
Kau tebarkan depanku
... ... ...
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
Sjuman Djaya dalam buku Aku hal 102 yang mengangkat perjalanan hidup dan karya Chairil Anwar sedikit menjawab tanda tanya yang ada.
 “Beberapa lintasan wajah-wajah perempuan lain hampir bersamaan muncul.... tapi sebentar saja hilang dan ruangan menjadi kosong. Pada saat kosong ini sebuah figur semampai mengenakan gaun sutra yang melambai dan topi lebar dengan cadar hitam yang menutup wajahnya –Ida. “
          Setelah subjek lirik dan pendengar kita ketahui hal berikutnya yang sangat penting adalah pengembangan tema. Pengembangan tema puisi dapat dilihat dengan tiga cara: momen perbuatan, kontras, dan suara penjumlahan. Pada puisi Sia-sia cara yang paling mudah adalah dengan melihat momen perbuatan. Melihat pada judul “ Sia-sia”, kita dapat menarik kesimpulan puisi ini menceritakan perbuatan yang tidak ada gunanya. Hal itu dapat dilihat pada bait  
Sudah itu kita sama termanggu
Saling bertanya : apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti
... .... ....
            Aku yang diam termangu, aku yang sudah itu tidak tahu, aku yang tak mau memberikan hatinya. Secara keseluruhan puisi ini menceritakan bagaimana seorang gadis yang datang pada kekasihnya, dan memberikan semuanya pada si kekasih.   
Penghabisan kali itu kau datang                                
Membawa karangan kembang
 Mawar merah dan melati putih:                     
Darah dan suci                                                           
Kau tebarkan depanku                                               
Serta pandang yang memastikan:  Untukmu    
.... ... ...
di saat-saat terakhir ia datang, membawa karangan bunga dan juga dirinya (sebagai kembang), mawar merah (sebagai lambang darah) dan melati putih
(melati sebagai lambang kesucian). Dan Kau, ingin memberikan keperawanannya pada si Aku : serta pandangan yang memastikan: untukmu.
          Selain subjek lirik, pendengar dan tema terdapat salah satu unsur yang sangat penting yaitu Tipografi puisi. Tipografi digunakan untuk membedakan antara puisi dan karya tulis lainnya. Sering disepakati pula baik oleh para penyair dan kritikus lainnya, bahwa tipografi yang rapi menimbulkan kesan dan suasana yang damai. Sebaliknya jika tipografinya kacau akan menimbulkan kesan yang kacau pula. Pada puisi sia-sia, tipografi yang digunakan penulis cukup unik, tidak terikat oleh bait dan larik. Puisi ini terdiri dari empat bait. Bait pertama terdiri atas enam larik, bait kedua terdiri dari tiga larik, bait ketiga satu larik dan bait terakhir terdiri dari dua larik.
          Selain bait dan larik, pada puisi tersebut terdapat unsur non bahasa lain, tanda baca seperti: tanda seru (!), titik(.), titik dua(:). Hal lain yang dapat dikaji adalah segi sintaksis. Struktur sintaksis pada kalimat berbeda dengan  puisi. Pada puisi strukturnya cenderung tidak beraturan. Polanya sendiri dibagi menjadi dua bagian:
  • Infrastrukturasi, kaidah-kaidah bahasa diabaikan
  • Suprastrukturasi, pola tertentu diulang-ulang sehingga terjadi keteraturan tambahan.
Pada puisi sia-sia, struktur sintaksisnya termaksud dalam infrastrukturasi
Karena dalam puisi tersebut terdapat beberapa larik yang menunjukan adanya inversi. Contohnya:
... ... ...
Membawa karangan kembang
... ... ...
Saling bertanya: apakah ini?
... ... ...
Mampus kau dikoyak-koyak sepi

          Selain pola inversi, terdapat beberapa larik yang susunan sintaksisnya sesuai dengan kaidah kebahasaan. Seperti:
1. Kau terbarkan depanku (larik 5 bait 1)
      S        P             Ket.
2. Sehari itu kita bersama (larik 1 bait 3)
          Ket       S       P
3. Hatiku yang tak mau memberi (larik 1 bait 4)
        S                            P
Sedangkan pola suprastrukturasi tidak terdapat dalam puisi ini, karena tidak terdapat bentuk pengulangan. 
         
Penutup
          Puisi adalah membiarkan imajinasi liar, mambebaskan imajinasi untuk menafsirkan kata-kata yang tertuang. Setiap orang bisa memiliki penafsiran yang berbeda-beda setelah membaca satu puisi secara bersama-sama, karena perlu diingat, mengartikan puisi bukanlah mengartikan kata sebagai kata, tapi kata sebagai kekuatan yang mempunyai makna dan menangkap pesan yang ingin disampaikan penyairnya. 

Novi Diah Haryanti
2004

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...