Tuesday, June 7, 2011

ATHENA

Biar saja hati ini terkoyak, seperti para pemain Ceko yang yang tehenyak saat sundulan pemain Yunani Traianos Dellas menerobos masuk, menggoyangkan jala gawang Petr Cech. Dan kereta api cepat Ceko pun terpaksa berhenti, para penumpangnya turun dan pergi. Neved, Poborsky, Baros, Rosicky, Koller, seakan buntu. Entah mantra apa yang digunakan, bola seakan mental, tak mempan membobol gawang Antonios Nikopolis. Estadio Dragao, Portugal, saksi bisu sejarah baru. Dewa-dewi pun bernyanyi, menari di atas bukit Acropolis, Dewi Fortuna memandangi dan tersenyum sendiri, melihat ulah para cucunya. Sudahlah, ekstra time nya habis.
Prit…prit…prit…. Wasit berkepala plontos asal Italia Pierluigi Collina meniupkan peluit panjangnya. Its over now….
Rasaanya aku dapat mendengar teriakan pendukung Yunani yang bersorak, “Helas…helas…!” Akh…unbelievebel, satu piring makan siang melayang. Kalah…
*****
Athena, Juli 2004
            Hampir enam tahun sudah aku meninggalkan Indonesia. Negeri tempat kelahiranku yang katanya ramah orangnya, kaya alamnya, subur tanahnya dan zamrutnya khatulistiwa. Aku setuju dengan subur, indah dan kaya alamnya. Tapi ramah, tidak! Nanti dulu. Mei 1998, kulihat orang ditelevisi bakar-bakaran. Dikotomi pribumi dan non pribumi menjadi gencar diteriakkan. Begitu juga di kompleks perumahan tempatku tinggal. “Rumah milik H. Hesein, asli pribumi” kubaca karton yang ditempel pada pagar rumah yang tingginya paling tidak mencapai 2 meter itu. Kata asli pribumi bahkan diberi warna merah dan tercetak dengan huruf besar semua, seakan memastikan masa yang kalap tak salah menerjang rumahnya.
            Papaku memang berasal dari etnis Tionghoa, tapi Mama asli kelahiran salah satu kota di Jawa Tengah, Magelang. Kutatap wajahku didepan cermin, bukan untuk bertanya siapa yang paling cantik di dunia, tapi menatap mata, bibir, dan kulit wajahku. Rambutku lurus tergerai sebahu, mirip papa. Bibirku merah tipis, hidungku khas Indonesia. Mataku, ya mataku lagi-lagi mirip papa, begitu juga dengan kulit mulus putih yang tentu masih warisan papa. Jangan salah walaupun papa warga keturunan, tapi rasa nasionalismenya tinggi. Papa merasa Indonesia inilah tanah airnya, bukan negeri nun jauh disana. Tapi tetap saja. Orang menganggap kami warga keturunan yang suka mencekik leher saudara sendiri. Yang suka memonopoli perdagangan dalam negeri, dan berusaha memiliki negeri ini.
Inflasi besar-besaran, krisis ekonomi dan moneter berkepanjangan, yang terparah krisis kepercayaan. Bangsa ini bukan lagi bangsa yang menjujung tinggi budaya tapi bangsa yang hilang adat, biadab.
Kudengar kerumunan masa mulai menuju ke kompleks perumahanku. Para tetangga pun memasang palang pada tembok yang sebetulnya sudah kokoh dan tinggi. Aku mengintip dari balik jendela kamarku di lantai 2. Mereka datang dengan golok, celurit dan berbagai benda penjemput kematian lainnya. Tidak, aku tak mampu melihat adegan keji para binatang yang terkadang budiman. Lututku melemas, kudengar Mbok Rum teriak bak orang kesetanan. Aku mundur kebelakang, menuju pintu dan ingin segera keluar dari kamar sialan. Prang…. Kulihat pecahan kaca berhamburan di lantai kamarku. Rupanya mereka marah karena tak bisa masuk ke dalam. Batu seperti hujan yang terus saja dilemparkan, entahlah selanjutnya apa, karena aku tak sadar, pingsan. Melihat batu melayang dan mendengar jeritan orang kesetanan.
          Polisi datang, kerumunan masa bubar. Selalu saja polisi terlambat datang, sama persis seperti film India yang selalu ditayangkan televisi lokal. Papa pulang setelah mendapat telepone. Kami sekeluarga memutuskan mengungsi, pergi, sampai suasana sedikit tenang. Ponsel papaku terus berdering dan bergetar. Mama masih terlalu syok dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Apalagi mendengar kabar dari Omku kemudia. Fiska mencoba bunuh diri setelah sekelompok pemuda mengetuk kaca mobilnya dan menyeretnya ke luar, para pemuda tersebut memperkosa Friska seperti anjing yang libidonya sudah tak tertahankan dan ingin segera disalurkan, Friska diterkam habis-habisan. Friska merasa terpukul dan terhina, merasa tak lagi berharga. Berfikir dia hanyalah seonggok daging, tempat membuang sperma pria. Friska…Friska…dia sepupuku, sangat dekat denganku.
Jakarta tak lagi aman, ralat, negeri ini tak lagi tentram. Para investor lari tunggang langgang, begitu juga wisatawan. Trevel warning, ditujukan untuk orang yang ingin berkujung kesini. Papa dan mama sudah memutuskan mengirimku keluar, jauh dari negeri ini. Gila, aku diusir sendiri dari rumahku, negaraku. Aku pun pasrah, menurut saja daripada cemas terus datang menggoda, lebih baik aku kabur.
*****
Sekarang aku tinggal disini, disebuah kamar sempit yang penuh dengan perabotan. Paling tidak, disini aku aman dan tentram. Ya… 6 tahun sudah aku tinggal di Yunani, tepatnya di kota Athena. Sejak kejadian hari itu, papa mengirimku tinggal bersama Tante Na. Empat bulan aku hidup bersama tanteku dan keluarga kecilnya. Lalu kuputuskan untuk mencari apartemen sendiri, walau kecil tak apa-apa yang penting aku bisa bebas, sebebas sekarang.
Athena, kota ini begitu tua. Yang paling menakjubkan dari kota ini adalah perkembangan kota yang sejak zaman klasik dulu sudah mengenal apa itu demokrasi. Lucu kalau ingat bangsanku yang baru pada abad ke-20 berteriak-teriak lantang tentang demokrasi yang harus ditegakkan. Aku benar-benar tak habis pikir kenapa papa mengirimku ke sini, kenapa tidak ke negeri yang terkenal dengan Harvad-nya. Karena ada tante Na, sangat tidak dewasa dan tidak rasional. Itulah yang pertama kali terlintas dalam otakku begitu mendengar alasan dari papa. Tapi sudahlah, aku terlalu malas untuk berdebat dengan papa, lebih baik aku nurut, manut.
Amazing…itulah kata yang pertama kali terlontar dari mulutku ketika menginjakkan kakiku disini. Suasana jalan rayanya mirip dengan kota Jakarta, tapi keindahan kotanya…. Aku pikir kemacetan dan semrawut jalan bisa dijadikan hak paten negeriku, tapi ternyata tidak. Terlalu banyak kendaraan beroda dua, bahkan menurut data yang ada, di Athena lah paling banyak dijumpai kendaraan roda dua. Bedanya, pengguna jalan lebih tahu dan mau menaati aturan lalu lintas. Kalau masalah polusi, sama saja. Pelembab, sunblok jadi tidak mempan tak berfungsi.
Satu bulan aku membiasakan dengan keadaan kotaku sekarang. Jalannya, cara hidupnya, bahasanya serta kebisaan yang menurutku aneh, Siesta atau tidur siang. Bayangkan selama dua jam dari pukul 14.00 sampai 16.00, kita diharuskan tidur siang. Bandingkan dengan Jakarta, jam-jam itu adalah jam sibuk yang orang-orangnya pada kelimpungan menyelesaikan pekerjaan yang terus saja menggudang.
Athena… entah kenapa aku merasa malam lebih panjang di kota ini. Mungkin karena kehidupan malamnya terasa lebih mengasyikkan. Suatu senja aku coba menikmati matahari yang menghilang perlahan, terbenam dari bukit Acroplis. Sangat indah karena pendar cahaya kekuningan yang menerpa, menutup hampir sebagian kota. Bukit Acropolis sampai sekarang masih mendominasi langit di kota Athena. Kompleks ini terdiri dari dua kuil besar, museum, serta beberapa kuil kecil. Kuil Parthenon, kuil terbesar yang merupakan persembahan khusus untuk Dewi Athena, dewi perawan dan pelindung kota. Puas dengan keindahan yang diciptakan Tuhan, aku mulai berjalan menuruni bukit Acropolis dan menikmati makan malam di Taverna daerah Plaka yang berada di kaki bukit. Beberapa pasang kekasih sedang larut dalam tawa renyah dan belaian orang yang tersayang. Kureguk tetes air terakhir dari gelas panjang yang tersuguh dihadapannku, lalu melangkah pulang.  
Aku terpaku menatap konser musik para musisi Yanni musiknya asli orang  Yunani. Walau aku tak paham betul apa yang dinyanyikan, tapi toh aku masih bertahan disini, di Teater Herod Atticus. Bukankah musik adalah bahasa universal hingga siapa saja bisa menikmatinya.      
Tiba-tiba saja konsentrasiku terganggu oleh sosok pria disebelahku yang tertidur lelap dengan dengkuran keras yang mengganggu telingaku. Kalau diperhatikan sosok itu sangat rupawan, Tuhan mengukirnya dengan sangat perlahan. Aku malah jadi asyik mengikuti lekuk wajah dan damai yang tersimpan dalam diam, dalam lelap yang mungkin sudah tak tertahan, bukannya menikmati alunan musik yang terus dimainkan.
Kugoyangkan tubuhnya perlahan. Kulihat dia terbangun dengan sedikit gelagapan, aku jadi tersenyum sendiri. Kutaruh jari telunjukku pada bibir, sebuah gerakkan yang menandakan agar dia sedikit tenang. “Sorry…” katanya, aku hanya tersenyum dan kembali duduk dalam diam.
Hai Miss!” sapa lelaki yang tadi duduk disebelahku, yang setelah kutegur kemudian menghilang.
Are You Indonesian or Chinese?” tanyanya padaku. Pertanyaan yang membuatku muak, pasti karena mata, dan kulitku hingga ia mengiraku dari negeri tirai bambo itu.
I am Indonesian ” jawabku agak malas, seperti bertemu sahabat lama dia langsung memelukku erat sekali. Aku kaget, hampir saja berteriak karena marah. Sesaat dia sadar, melepaskan dekapan dan mengulurkan tangannya padaku
“Drew”
“Renita, you can call me Re”
Iam Indonesian too” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Dan kini giliran aku yang menjerit senang.
Awal perkenalanku dengan Drew, aku sempat tak percaya bahwa dia berasal dari negeri yang sama denganku. Drew, wajah indo-nya sudah menipuku. Nasibnya pun tak beda jauh dariku, kami sama-sama kabur, orang pelarian. Sebetulnya aku tidak kabur, sekali lagi kuingatkan aku diusir dari negriku sendiri. Drew kini menjadi sahabat sekaligus kekasihku. Paling tidak aku tak lagi sepi sendiri kala berbagai perayaan tiba. 
Dan sekarang aku terpaksa merelakan makan siangku untuk Drew. Tak  dapat kupercaya Ceko harus menyerah takluk pada Yunani, negeri yang kerjaannya menurutku hanya tidur siang dengan Siesta-nya. Drew dan aku sepakat bertaruh makan siang dan satu ciuman, bila tim kesayangan kami menang. Rupanya 6 tahun di negeri ini, membuat Drew paling tidak merasa memiliki, jadilah aku Ceko dan dia Yunani. Apa mau dikata, satu piring makan siang dan ciuman paling berkesan harus kuberikan untuknya.
“Tak ada orang Yunani yang ingin menjadi dewa. Tapi orang Yunani sejati tak pernah menyerah untuk bisa menjadi Dewa.” Begitula kutipan karya Aristophanes.  Manusia harus bekerja keras untuk mencapai kepenuhannya, kendati upaya itu berakhir tragis*. Yunani dan Ceko memang bekerja keras. Yunani, siapa yang menyangka negeri yang datang tanpa nama dan bintang besar ini dengan kerja kerasnya mampu menaklukan tim-tim unggulan. Yunani dengan manis melangkah kefinal dan Ceko mengalami bagian yang tragis. Sial…     
*****
Mama terus membujukku pulang. Pulang, akh…bukankah aku selalu saja dianggap musuh dan terbuang. Mama bilang situasi sudah aman, apalagi sebentar lagi pesta demokrasi yang sedang ramai, diselenggarakan. Aku memang sempat terpikir untuk menengok negeri yang sudah membuat aku ngeri, tapi itu nanti bersama Drew atau bersama anak-anak kami nanti. Ya…nanti, karena aku tak mau anak kami terus diteror dengan dikotomi rasis yang terus menyulutkan konflik tersembunyi. Nanti saja…. Lagi pula jika pulang sekarang aku malas mendapat pemeriksaan super ketat pihak bandara yang mencurigai sesama bangsanya. Takut teroris katanya….   
                                                                                                              
             
Novi Diah Haryanti
3-4 Juli 2004
dan Ceko pun kalah....
                                                                                                                  

*Paragraf tersebut diambil dari artikel KOMPAS, Minggu 4 Juli 2004. Berjudul Seakan Tiada Hari Esok oleh Sindhunata.   

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...