oleh Novi Diah Haryanti
Abstrak
Forum Lingkar Pena (FLP) adalah organisasi kepenulisan berbasis Islam yang berdiri pada 22 Februari 1997. Saat ini, FLP merupakan organisasi penulis muda terbesar yang anggotanya mencapai 7000 orang dan menghasilkan lebih dari 600 judul buku. Penelitian ini bertujuan untuk melihat nilai-nilai keislaman yang terdapat dalam FLP dan karya-karya yang dihasilkannya. Hal tersebut, dilakukan dengan menganalisis modul dan karya FLP, serta melakukan wawancara terhadap para tokoh FLP.
Nilai-nilai keislaman FLP terlihat dari isi Materi Kelompok Pramuda Forum Lingkar Pena Jakarta, yang memuat pengetahuan dasar tentang Forum Lingkar Pena (KE-FLP-AN), wawasan keislaman, dan kepenulisan. Modul tersebut berperan mengarahkan tulisan anggotanya, sehingga karya-karya dihasilkan, diharapkan dapat menjadi media dakwah yang memberi pencerahan bagi pembacanya. Sebagai komunitas, FLP merupakan akselerasi bagi para penulis muda. Karya-karya yang dihasilkan FLP pun dapat menjadi alternatif bacaan bagi para pembaca khususnya pembaca muslim.
Sejak tahun 1990-an komunitas sastra tumbuh subur tidak hanya di ibu kota provinsi tapi juga di kantong-kantong kesenian yang terdapat di kabupaten, tingkat kecamatan, bahkan sampai di tingkat kelurahan (KSI, 2008). Perkembangan ini yang direspon oleh Litbang Kompas dan Komunitas Sastra Indonesia (1998) dengan melakukan pemetaan terhadap komunitas sastra yang terdapat di Jakarta, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Dari pemetaan tersebut, setidaknya tercatat sebanyak 20 komunitas terdapat di Jakarta, 5 komunitas di Bogor, 18 komunitas di Tangerang, dan 3 komunitas di Bekasi. Tidak hanya menjadi komunitas yang sekadar muncul lalu menghilang, beberapa komunitas –sebut saja Komunitas Utan Kayu yang didirikan oleh Goenawan Mohamad (GM) dan Komunitas Sastra Indonesia yang didirikan keroyokan[1] oleh para sastrawan di Jabotabek, menjadi pusat kekuatan sastra baru.
Sebelas tahun pascapemetaan yang dilakukan oleh KSI dan Litbang Kompas, pertumbuhan komunitas sastra kian marak, sebut saja Forum Lingkar Pena (FLP), komunitas sastra cyber, Creative Writing Institute (CWI), Boemipoetra, dan Rumah Dunia. Tidak hanya ikut-ikutan, kehadiran komunitas-komunitas ini mampu memberikan warna dalam kancah sastra Indonesia. Contoh paling nyata terlihat dari FLP yang melahirkan tren sastra islami dan berkembang dengan pesat lewat jejaring pembaca, penulis, dan penerbit yang dibuatnya. Karya-karya yang dihasilkan oleh para penulis FLP menjadi alternatif bagi pembaca di tengah kontroversi maraknya para penulis –kebanyakan perempuan –yang memasukkan unsur seksualitas dalam karyanya.
Forum Lingkar Pena (FLP) berdiri pada 22 Februari 1997. Dimotori oleh Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Muthmainnah, FLP memulai gerakannya hanya dengan 30 orang anggota. Namun, setelah duabelas tahun berdiri, komunitas ini menjelma menjadi komunitas penulis muda terbesar yang anggotanya mencapai 7000 orang[2] dan tersebar di 125 kota di Indonesia dan mancanegara seperti Singapura, Hongkong, Jepang, Belanda, Amerika, Mesir, dan Inggris.[3] Dengan jumlah anggota tersebut, FLP telah menerbitkan lebih dari 700 buku –fiksi ataupun nonfiksi untuk dewasa, remaja, dan anak-anak– serta bekerjasama dengan 30 penerbit. Kesuksesan anggota FLP menerbitkan karya-karyanya, membuat FLP pada 2003 mendirikan penerbitan sendiri yang diberi nama Lingkar Pena Publishing House (LPPH).
Salah satu faktor berkembangnya FLP adalah kedekatan dengan Majalah fiksi Islami Annida –pada saat itu dipimpin oleh Rosa –yang menjadi wadah bagi karya-karya anggota FLP. Sebagai majalah fiksi Islami, cerpen-cerpen yang terdapat dalam Annida mengangkat berbagai persoalan dalam diri, keluarga, dan masyarakat serta melihatnya dari sudut pandang keislaman. Unsur keislaman yang sangat kental membuat cerpen-cerpen Annida hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu seperti pesantren, namun terkadang unusr-unsur tersebut ditampilan secara samar dan multitafsir.[4] Kebiasaan para anggota FLP yang kerap menulis cerpen di Annida dan kedekatannya dengan majalah tersebutlah yang membuat FLP lekat dengan nuansa islami. Selain menampung kreativitas anggota FLP, di Annida juga terdapat rubrik khusus berisi info FLP yang menjadi sarana perekrutan bagi anggota baru.
Sebagai organisasi kepenulisan yang berbasis keislaman, FLP merupakan tempat akselerasi bagi siapapun yang ingin menjadi seorang penulis dan menjadikan kegiatan tulis-menulis sebagai bagian dari pencerahan dan dakwah. Selain dari karyanya, nuansa keislaman FLP juga terlihat dari ritual-ritual yang dilakukan pada pertemuan rutin di tiap cabang, seperti membuka kegiatan dengan membaca Al Quran ataupun menutupnya dengan Qultum.[5] Walau demikian, baik Rosa atapun Hidayatullah[6] menegaskan bahwa FLP merupakan organisasi terbuka bagi siapapun yang ingin belajar menulis dan menjadikannya sebagai kegiatan yang mencerahkan umat (masyarakat).
Kemajuan FLP tersebut, membuat motor pengerak FLP, Helvy Tiana Rosa, mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai pihak, seperti Penghargaan Perempuan Indonesia Berprestasi dari Tabloid Nova dan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (2004), Tokoh Sastra Eramuslim Award (2006), Muslimah Teladan Bidang Penulisan versi Majalah Alia (2006), Ikon Perempuan Indonesia versi Majalah Gatra (2007), Wanita Indonesia Inspiratif versi Tabloid Wanita Indonesia (2008), Danamon Award mengusung FLP yang ia dirikan (2008), dan 100 Wanita Terinspiratif versi Majalah Kartini (2009).
Tidak hanya memiliki Helvy Tiana Rosa, beberapa penulis FLP terbilang sangat produktif bahkan melahirkan buku-buku yang best seller, seperti Asma Nadia, Muthmainnah, Azzimah Rahayu, dan Habiburrahman El Shirazy. Ada pula FLP Kids, yang menjadi tempat anak-anak untuk belajar menulis dan melahirkan karya bersama FLP, seperti Adzimattin Nur, Abdurrahman Faiz, dan Adam Putra Firdaus.
Perkembangan FLP yang pesat dan lahirnya para penulis yang mencuri perhatian masyarakat lewat buku-buku bestsellernya, membuat saya tertarik untuk meneliti FLP. Sedangkan, tujuan dari penelitian ini adalah memperlihatkan nilai-nilai keislaman yang tedapat dalam Forum Lingkar Pena (FLP) dan karyanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2006: 53). Penelitian ini memanfaatkan sumber-sumber tertulis seperti buku, laporan penelitian, artikel dan dokumen tertulis lainnya yang memiliki relevansi dengan judul penelitian, serta sumber tidak tertulis (wawancara) dengan tokoh FLP.
[1] Dalam buku Komunitas Sastra Indonesia, Catatan Perjalanan (2008), sebelas orang sastrawan hadir untuk mendirikan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) diantaranya: Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta), Ayid Suyitno PS (Jakarta), Azwina Aziz Miraza (Tangerang), Diah Hadaning (Bogor), Hasan Bisri BFC (Jakarta), Iwan Gunadi (Jakarta), Medy Loekito (Jakarta), Shobir Poerwanto (Jakarta), Slamet Rahardjo Rais (Jakarta), Wig SM (Bekasi), Wowok Hesti Prabowo (Tangerang). Dalam perjalanannya, KSI tidak hanya menjadi wadah sastrawan yang berdomisili di Jabotabek, tapi merambah ke wilayah Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
No comments:
Post a Comment