Thursday, September 29, 2011

Said dan Orientalisme

Edward Said, lahir di Yerusalem pada 1 November 1935. Dalam memoar berjudul yang Out Of Place (2002) yang ditulisnya pada 1999, Said mengaku membutuhkan waktu lima puluh tahun untuk merasa nyaman dengan namanya. Menurutnya, nama Edward terdengar bodoh dan secara paksa dilekatkan pada nama keluarga Arab asli, Said. Ayahnya adalah saudagar Arab yang makmur, berkewarganegaraan Palestina-Amerika Serikat. Said menjalani pendidikan dasar dan menengah di Yerusalem dan Mesir lalu pada usia limabelas tahun pindah ke Massachusets dan menjadi warganegara Amerika Srikat pada umur delapanbelas tahun (Amalik, 2001).
Said belajar sastra, musik, dan filsafat di Princeton selama setahun. Namun, gelar doktor sastra Inggris diraihnya dari Universitas Harvard. Perang yang melanda Arab pada 1947 -1948, membuat keluarganya tergusur dari Palestina dan memilih tinggal di Yordania dan Lebanon. Peristiwa ini, mengubahnya dari intelektual kampus menjadi intelektual organik. Said juga akrab dengan kegiatan advokasi dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam rangka membela kepentingan Palestina dan dunia Arab pada umumnya.
Pada 1978, Said menerbitkan buku berjudul Orientalism yang melahirkan kegerahan sekaligus pencerahan dalam berbagai disiplin ilmiah seperti cultural studies, kajian wilayah, dan secara khusus melahirkan analisis diskursus kolonial (Young dalam Yusuf , 2009). Lapangan penelitian baru yang kemudian dikenal dengan nama teori pascakolonial (postcolonial theory).
 Orientalisme (2001) merupakan suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa. Timur telah membantu mendefinisikan Eropa (Barat) sebagai imaji, idea, kepribadian dan pengalaman yang berlawanan dengannya. Orientalisme tidak pernah jauh dari apa yang dinamakan Denys Hay sebagai gagasan Eropa, suatu pikiran kolektif yang mengidentifikasikan ‘kita’ orang-orang Eropa sebagai yang berbeda dari ‘mereka’ orang-orang non Eropa. Apa yang membuat budaya Eropa berkuasa baik di Eropa ataupun di luar Eropa adalah gagasan identitas Eropa sebagai identitas yang lebih unggul dibandingkan dengan semua bangsa dan budaya non Eropa.[1]
Istilah orientalisme menurut Said dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda. Pertama memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berpikir berdasarkan epistemologi dan ontologi yang secara tegas membedakan antara Timur degan Barat. Timur sebagai diskursus yang dikonstruksi oleh bentuk kekuasaan dan pengetahuan kolonial. Kedua, orientalisme sebagai gelar akademis untuk menggambarkan seraingkaian lembaga, disiplin, dan kegiatan yang umumnya terdapat pada universitas Barat yang peduli pada kajian masyarakat dan kebudayaan Timur. Ketiga, orientalisme sebagai lembaga resmi yang pada hakekatnya peduli pada Timur (Lubis, 2009). Lebih jauh Lubis mengungkapkan bagaimana Said mengemukakan arti orientalisme dalam tiga wilayah yang saling tumpang tindih. Pertama, menciptakan sejarah pahit yang panjang hubungan antara Eropa dan Asia-Afrika. Kedua, menciptakan bidang-bidang ilmu ilmu yang sejak awal abad ke-19 sebagai spesialis dalam bahasa dan kebudayaan oriental. Ketiga, menciptakan stereotip dan ideologi tentang the orient yang selalu diidentikan dengan the Other dengan the Occident (the self). 
           Lubis via Suryawan, mengungkap Said menggunakan pemikiran-pemikiran Derrida, Foucault, Gramsci, dan teori kritis sebagai dasar untul teori poskolonial. Pemikiran tokoh-tokoh tersebut digunakan untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemologis Barat terhadap Timur dengan menunjulkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kamu kolonialis dan orientalis. Para tokoh teori poskolonial menolak pandangan dan sikap yang merendahkan masyarakat dan budaya Timur yang bersifat narsistik, hegemonik, dan penuh kekerasan.  
Orientalisme dianggap sebagai narasi terbesar, bentuk khusus imperialisme yang masih hidup dan selalu diperbincangkan dalam kajian pascakolonialisme. Dari pemikiran Said tersebut, dapat disimpulkan bahwa dua hal penting yang menjadi dasar teori pascakolonial, yaitu (1) oposisi biner Barat-Timur, Penjajah-Terjajah sebagai pusat perhatian dan (2) sifat anggitan (constructedness) dari dikotomi tersebut (Rusdian, 2002).


     [1] Dikutip dari buku terjemahan Orientalisme Edward Said (2001), penerjemah Asep Hikmat. Bandung: Pustaka.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...