Friday, June 22, 2012

Istana Jiwa: Cerita Para Korban Tragedi 65


Novi Diah Haryanti[1]


Pada acara bedah buku “Istana Jiwa” 24 April lalu di GoetheHaus, walau tidak hadir, Maria Hastiningsih memberikan ulasan terkait novel sejarah yang ditulis oleh Putu Oka Sukanta (POS). Buat saya, poin yang menarik ialah bagaimana Hastiningsih menutup tulisan tersebut dengan sebuah paragraf, “... Istana Jiwa, telah melengkapi sejarah dari perspektif korban kekerasan politik. Kehancuran keluarga dan bagaimana perempuan mempertahankan hidup dirinya dan anak-anaknya di masyarakat yang menghukum mereka dengan berbagai stigma pasca G-30S, tak pernah ada tempatnya dalam Sejarah Nasional; sejarah sebagai 'His-story'. Kita yang wajib mencatat 'Her-story'.”[2]
Dalam usahanya mencatat “her-strory” POS menggunakan banyak tokoh perempuan, mulai dari yang utama, tokoh ibu dan anak, yaitu Maria (Ria) dan Ibu Suri, juga para istri dan kekasih kelompok kiri, yaitu Kirtani, Ivone, Hwani, Ninuk, dan Savitri. Lewat suara-suara merekalah pembaca mengetahui dan merasakan sulitnya menjadi bagian dari tragedi 65.
Di awal cerita, kita dikenalkan pada tokoh Maria, anak Bung Rampi yang merupakan orang penting di Partai Komunis Indonesia (PKI). Maria juga merupakan aktivis Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang rajin pergi ke gereja, menjadi anggota drumband dan suara merdunya kerap dipakai Paduan Suara Gereja ataupun paduan suara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kisah cintanya dengan Larsono yang merupakan anggotan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), kandas lantara perbedaan agama di antara mereka. Keteguhan Maria mempertahankan keyakinan agamanya, mematahkan mitos yang selama ini berkembang bahwa orang komunis tidak beragama. Selain itu, tampaknya POS tidak ingin kisah cinta beda agama ini mengambil porsi yang cukup besar hingga mampu menghadirkan konflik antara Maria dan Larsono. Bagi mereka, perjuangan dan keyakinan politiklah yang utama, hal tersebut tampak pada kutipan berikut ini.
     “Pada waktu demonstrasi besar-besaran di Kedutaan Inggris, mereka bertemu, karena CGMI dan GMNI adalah kelompok mahasiswa yang mendukung ideologi Soekarno dengan manifesto politiknya yang anti-imperialisme, neokolonialisme, habis-habisan.” (2012: 9)


Pascaputus dengan Larsono, Maria semakin aktif berorganisasi. Tanpa persejutuan Bung Rampi, Maria masuk sebagai anggota PKI. Sayangnya masa kejayaan partai tak lama ia rasakan karena terjadinya peristiwa G30S. Berbeda dengan orang-orang yang ketakutan akan diciduk oleh petugas, kekhawatiran Maria bukanlah kekhawatiran akan ditangkap melainkan, “Maria sedih karena partai yang mendadak hancur. Partai yang kupercaya akan memperbaiki kehidupan rakyat. Aku sedih sekali, aku kehilangan. Sepertinya, keluarga-keluarga kita akan menjadi buronan,” (h.57).
Penderitaan Maria pun dimulai, cita-citanya untuk menjadi dokter pupus. Ayahnya, Bung Rampi, ditangkap dan akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Untuk bertahan hidup, Maria menjadi jurnalis di Samudra Raya. Pada saat gerakan antisoekarno semakin kuat dan sistematis, Maria ditangkap bukan karena dianggap Soekarnois, tapi karena ia bekas anggota CGMI dan dituduh melakukan penyusupan.
Maria ditahan selama empat bulan. Selama itu, ia berusaha tegar dan tidak jatuh. Maria bahkan tidak menghubungi ibunya untuk mengurangi kekhawatiran sang ibu. Beruntung selama itu ia tidak mengalami tindak perkosaan seperti ditakutkan ibunya. Kekhawatiran Ibunya bahwa Maria akan sulit menemukan jodoh ternyata tidak terbukti. Maria menikahi Anton, mantan aktivis GMNI.
Berbeda dengan tokoh Maria yang identitasnya sejak awal sudah digambarkan dengan jelas oleh pengarang, nama Ibu Suri baru muncul pada halaman 140. Pada mulanya, pembaca mengenal sosok Ibu Suri lewat Maria, seperti tampak pada kutipan berikut, “ Maria memandang ibunya lamat-lamat. Sosok ibunya berubah seperti sosok Kartini, seperti yang ia ketahui dari foto buku sejarah. Perempuan berkonde, pakai baju kebaya dan kain batik, juga matanya bening bagai danau yang menyimpan kekayaan batin dan ternilai harganya” (h.38). Tidak hanya itu, dimasa mudanya Ibu Suri juga  ikut berjuang melawan penjajah dan bergabung di Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) cikal bakal Gerwani. Akan tetapi, pascapenikahan dengan Bung Rampi tidak diceritakan bagaimana kehidupan berorganisasi Ibu Suri.
Peran Ibu Suri tampak saat suaminya Bung Rampi ditangkap oleh tentara. Berbeda dengan orang-orang yang tampak kebingungan dengan “dibawanya” keluarga mereka, reaksi Ibu Suri lebih banyak diam. Untuk menghidupi keluarganya ia menjual kacang goreng dan telur asin. Tidak hanya itu, Ibu Suri juga harus menahan rasa laparnya karena hanya makan sekali sehari dan membiarkan kakinya sakit karena terlalu lama menjahit.
            Beban yang dialami Ibu Suri membuat tubuhnya susut 10 kg sejak penculikan suaminyanya. Rambutnya pun sudah berubah dengan cepat, rontok, dan berwarna keputihan. Meskipun demikian, senyum tak pernah hilang dari wajah Ibu Suri. Ketegarannya pun tampak dari pesannya pada Maria, ”Nduk, jangan sering mengeluh. Mengeluh berarti lemah. Kita harus kuat,” (h.167). Hal tersebut membuat Maria menyamakan rasa cintanya kepada partai seperti rasa sayang pada ibunya, sebagaimana tampak dari kutipan berikut.
”Rasa sayang dan cinta kepada partai melebih rasa sayang kepada bapaknya. Mungkin seimbang dengan rasa sayang kepada ibunya, terutama sekali ia melihat bagaimana ibunya tanpa mengeluh mengatasi kesulian yang menerkamnnya. Ia merasakan ketangguhan ibunya. Jiwa perempuan yang tangguh.”  (2012: 172)

Sebagai istri dari seorang tokoh komunis, terselip sebuah keinginan sederhana agar saat keluar dari penjaran suaminya dapat berubah menghargai pentingnya keluarga. Selama ini, Ibu Suri merasa dikesampingkan. Bung Rami tidak punya waktu untuk keluarga dan mengurus rumah. Seluruh pekerjaan rumah, Ibu Surilah yang mengurusinya bahkan untuk pekerjaan-perkerjaan yang dianggap miliki laki-laki seperti membetulkan genting yang bocor, tampias, WC yang mampet, sampai membayar tagihan-tagihan. Hingga Ibu Suri menganggap Bu Rampi sebagai “raja kecil” dalam rumah. Kondisi itulah yang membuat Ibu Suri merasa perlu memperingatkan Maria sebagaimana tampak pada kutipan berikut.
“Selalu dalam keadaan kritis perempuan ambil alih semua urusan. Ia menjadi barisan terdepan. Kalau sudah aman laki-laki datang menggeser kita ke dapur sana. Nanti Nduk, kalau masih ada yang mau menikahimu, hal hal seperti ini dibicarakan terlebih dulu. Harus dites calon suamimu, Nduk.” (2012: 195)

            Bukannya berubah, Rampi justru semakin rusak. Kehancuran partai, kemarahan pada penguasa orde baru, hilangnya rasa percaya diri, memperlihatkan rasa frustasi Rampi. Maka, imbasnya sebagai istri, Ibu Suri mendapatkan tekanan psikologis dengan berbagai macam tuduhan terhadap dirinya. Bahkan, Rampi menuduh Ibu Suri “jualan lendir” untuk menghidupi keluarga dan membeli rumah baru bagi mereka. Saat Ibu Suri melawanan dengan mengatakan “Kowe ora tahu diuntung! Bui tidak menyebabkan kowe menjadi lebih baik terhadapku.” Rampi menamparnya, kemudian menghilang. Kisah Ibu Suri berakhir tragis dengan penghianatan yang dilakukan Rampi. Dua tahun menghilang, Rampi menikahi Rakyati. Tiga tahun berselang dari pernikahan itu, Rampi meninggal. Rasa kecewa, sakit hati, dan terhina, membuat Ibu Suri sakit-sakitan hingga akhirnya ia pun “pergi”.
              Kisah keluarga komunis ini ditutup dengan kejatuhan orde baru serta penegasan bahwa perjuangan dan kesamaan idelogi merupakan hal yang terpenting. Kemunculan  Rakyati di muka rumah Maria menegaskan hal tersebut. Maksud kedatangan Rakyati untuk menyampaikan dua pesan alm. Rampi. Pertama, menceritakan bahwa pernikahan Bung Rampi dan Rakyati terjadi karena mereka merasa senasib seperjuangan. Keluarga Rakyati merupakan korban dari tragedi 65. Ia ingin meneruskan perjuangan bapak-ibunya dan tidak ingin punya anak dari kelompok yang memusuhinya karena itulah ia meminta Rampi menikahinya dengan harapan masih ada benih yang mampu tumbuh di rahimnya (h.321). Anak itulah yang nantinya diharapkan mampu meneruskan cita-cita perjuangan mereka hingga diberi nama Fajar Rampindo yang berarti cahaya pagi penerus Bapak Rampi yang Indonesia.[3] Pesan kedua, Maria diminta untuk meminjamkan buku-buku lamanya pada Fajar. Permintaan kedua ini menunjukan betapa buku menjadi alat penting bagi penyebaran ideologi yang tak lekang waktu. Terkait dua permintaan Rampi, Maria menanggapinya dengan dingin dan tanpa permisif. Luka yang ditorehkan oleh bapaknya membuat “perjuangan dan ideologi bersama” yang sebelumnya penting, hilang sudah.
            Peristiwa yang terjadi pada Ibu Suri dan Maria menggambarkan bagaimana perempuan-perempuan korban 65 harus menghadapi beban ganda, pertama represi yang dilakukan oleh negara bahkan masyarakat terhadap mereka yang dianggap komunis –atau memiliki hubungan darah dengan anggota PKI- sehingga mereka harus lari, bersembunyi dan menghidupi dirinya. Kedua, sistem partriarki yang memosisikan mereka harus tunduk dan memaklumi para lelaki atau “kaum perempuan boleh merdeka selama meraka tidak merusak posisi (kekuasaan) laki-laki”.
                  Sekali lagi, Istana Jiwa memperlihatkan kekonsistenan Putu Oka Sukanta pada tema seputar G30S. Konsistensi pada tema inilah yang membuat POS mendapat tempat di hati pembacanya.[4] Walaupun terdapat beberapa tokoh yang tampak dipaksakan kemudian hilang tanpa penjelasan,[5] novel ini menjadi penting karena menampilkan perspektif yang berbeda, yaitu perempuan-perempuan yang sadar akan resiko perjuangan politiknya. Cerita yang dibuat gamblang mulai dari penyebutan tanggal, peristiwa, dan nama membuat novel ini menjadi bagian dari “gerakan melawan lupa”.    





    [1] Penikmat sastra dan pengelola www.ruang-kata-katavie.blogspot.com
    [2] Makalah Maria Hastiningsih, Istana Jiwa, Antara Ideologi dan 'Sisterhood'  dapat diunduh di http://kompasnewsupdates.blogspot.com/2012/04/inti-net-fwmaria-hartiningsih-bedah.html
     [3] Frasa ”Bapak Rampi yang Indonesia” seolah-olah menegaskan bahwa Rampi perlu diihat sebagai Warga Negara Indonesia dan memiliki hak yang sama dengan yang lainnya –tidak dibedakan karena ia Komunis.
     [4] Baca makalah Rosida E. Irsyad, “Dosa Kesunyian dan Advokasi untuk Perempuan Korban G30S”.  
     [5] Novel ini banyak sekali menyebutkan nama tokoh seperti Kirtani, Ivone, Safitri, Asmi, Hwani, Narti. Perempuan-perempuan tersebut memiliki ceritanya sendiri, mulai dari mencoba mempertahankan rumah, berjudi untuk memenuhi kebutuhannya, sampai menikah lagi dengan orang lain karena terpaksa. Hanya saya, dibagian akhir tidak dijelaskan bagaimana kelanjutan nasib mereka. Apakah suami mereka ikut dibebaskan seperti Rampi dan Maruto atau tidak, apakah mereka akhirnya menang dalam perjuangan atau kalah. Hilang tanpa penjelasan inilah yang membuat saya hanya mengulas Maria dan Ibu Suri karena hanya merekalah yang diceritakan secara utuh oleh POS.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...