Novi Diah Haryanti
novi.diah@gmail.com
novi.diah@gmail.com
Dalam tulisan Kenyataan Artistik Tidak Identik Dengan Kenyataan Objektif, Jassin mencoba mencermati beberapa persoalan dari empat karya yang diulasnya, yaitu: 1) karya sastra sebagai hasil imajinasi, tidak lebih dari itu, 2) hubungan antara pengarang, karya, dan isinya ditinjau dari kaidah agama, dan 3) sikap pengarang dan pembacanya.
Membaca salah satu tulisan Jassin dalam bukunya yang bertajuk Sastra Indonesia sebagia Warga Sastra Dunia, rasanya menarik dan cukup menggelitik. Menarik karena label “Paus Sastra” membuat pembacaan terhadap karya Jassin tak pernah usai, namun cukup menggelitik jika kemudian kita mencoba melihatnya dengan kacamata kekinian. Maka, tidak salah rasanya jika kita mencoba melihat dan mempertanyakan kembali apa yang dipersoalkan Jassin.
Menurut Jassin, imajinasi adalah sesuatu yang hidup, suatu proses, dan kegiatan jiwa. Sehingga dengan demikian, imajinasi yang dituangkan ke dalam sesuatu karya seni, tidaklah identik dengan kenyataan sejarah, pengalaman ataupun ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, kenyataan artistik tidak identik dengan kenyataan objektif atau sejarah.
Buat saya, pernyataan Jassin tersebut cenderung ragu-ragu dan tidak tegas. Kata identik sendiri mempunyai arti; sama benar, tidak berbeda sedikitpun. Tidak identik berarti, tidak sama benar. Lalu apakah maksud pernyataan Jassin tersebut, apakah kenyataan artistik ‘tidak sama benar’ dengan kenyataan objektif, dalam hal ini berarti masih ada unsur yang sama. Atau kenyataan artistik tidak sama dengan kenyataan objektif, karena menurut Jassin, hasil karya sebagai imajinasi tidak lebih dari pada itu.
Untuk memudahkan dalam menganalisis karya sastra, M.H. Abrams menawarkan empat teori yang sampai sekarang kerap diperbincangkan dan digunakan, yaitu mimetik, ekspresif, pragmatik, dan objektif. Teori tersebut diambil Abrams dari framework yang sederhana tapi cukup membantu.
(Semesta)
Universe
Work (Karya)
Pencipta (Artist) Audience (Pembaca)
Sebagai kritikus sastra, Jassin pun tak bisa lepas dari teori-teori yang berkembang pada abad ke 18 dan 19, salah satunya adalah teori-teori Abrams. Memang, Jassin tidak menyingung langsung tentang keempat teori Abrams. Namun, membaca analisisnya setidaknya terdapat tiga dari empat teori yang ditawarkan Abrams untuk menganalisis karya sastra yaitu, mimetik, ekspresif, pragmatik yang digunakan Jassin secara acak dan bersamaan.
Teori sastra yang dapat digunakan untuk menelaah hubungan karya dengan kenyataan adalah teori mimesis. Menurut Abrams (1987), The Mimetic Orientation- the explanation of art as essentially an imitation of aspects of the universe. Teori mimesis sendiri lahir dari pemikiran Plato yang menganggap bahwa karya seni tidak bisa mewakili kenyataan sesungguhnya, melainkan hanya sebuah peniruan.Pernyataan Plato dan Abrams inilah yang menghubungan antara tulisan Jassin dan teori mimetik. Dalam buku H.O.S Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya yang disusun Amelz dan diterbitkan oleh Bulan Bintang pada 1952, diceritakan Tjokroaminoto pernah bermimpi bertemu Rasulullah yang mengajarinya beberapa ayat Alquran. Maka, menurut Jassin, jika ia seorang pelukis maka mungkin saja ia melukiskan wajah nabi seperti yang dilihatnya dalam mimpi, dalam hal ini berarti Tjokroaminoto meniru gambar wajah nabi dari mimpinya. Tidak hanya itu, pada halaman berikutnya, Jassin pun menuliskan, seniman menggunakan bahan-bahan dari realitas dan menyusunya kembali dalam susunan yang mempunyai realitasnya sendiri. Pernyataan-pernyataan tersebut, memperlihatkan bagaimana Jassin mencoba melihat karya sebagai tiruan dari apa yang dilihat oleh pengarangnya, baik lewat mimpi, ataupun realitas. Hal itulah yang membuat Jassin menyimpulkan bahwa kenyataan artistik bukanlah kenyataan objektif atau historis. Tapi merupakan imajinasi si pengarang sendiri.
Maka, meloncatlah Jassin dari teori mimetik ke teori ekspresif. Menurut Abrams di dalam teori ekspresif seniman menjadikan dirinya sendiri sebagai element terpenting dalam penciptaan suatu karya, “the major element”. Dalam hal ini Jassin mengambil contoh, Davina Comedia. Seharusnya, pembaca tak perlu berpolemik terhadap karya tersebut, karena merupakan imajinasi pengarang sehingga tak perlu memperdebatkan isinya, apalagi meninjaunya dari sisi agama.
Memang Jassin tidak mengulas Davina Comedia dengan kaidah agama, namun, dia menyoroti profesi penyair dari sudut pandang agama. Jassin pun mengutip surah XXVI 24-26, Tafsir Qur'an susunan H Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, yang menulis, jika diukur dari kaidah agama tidak ada penyair atau pengarang yang bisa lolos masuk surga, sebab mereka pernah sekali waktu melanggar atau meragukan kaidah agama dalam imajinasinya, atau perbuatannya. Para pun penyair mempunyai reputasi buruk menurut Al Quran. Mereka tidak mempunyai dasar keimanan dan amal baik, hanya berkhayal dengan tak tentu tujuan dan arah.
Rasa kaget dan tercengang, menghinggapi saat saya membaca hal tersebut. Walau pada kalimat selanjutnya, Jassin seakan melontarkan ‘apology’ dengan menjelaskan bahwa dalam surah XXVI, 227 dijelaskan pula pengarang yang baik sebab mereka beriman dan mengejarkan hal baik, mengingat Tuhan sebanyak-banyaknya. Namun menjadi janggal dengan komentar yang diberikan Jassin berikut ini:
“ragu-ragu bertanya Chairil Anwar tentang surga yang kata Masyumi dan Muhammadiyah bersungai susu dan bertabur bidadari.... dan bagaimana kita harus menanggapi sajak-sajak Amir Hamzah yang mencoba berkomunikasi dengan Tuhannya dan malah mengiaskan Tuhan dengan Kucing yang mempermainkan mangsanya”
Apakah menurut Jassin, Chairil dan Hamzah merupakan contoh dari pengarang yang beriman dan mengerjakan hal baik atau justru pengarang pendusta itu. Selain itu, menurut Jassin sebuah hasil imajinasi tidaklah sama dengan kitab pelajaran ilmu fiqih. Hal ini dilihat dari karya A.A Navis, Datang dan Perginya, yang menceritakan pernikahan insest kakak beradik. Jika dilihat dari kehidupan sehari-hari rasanya tidak mungkin ada orang tua yang membiarkan kakak dan adik menikah walau atas nama kebahagiaan. Namun, dalam cerpen ini Navis memilih mengorbankan perasaan sang ayah untuk menjaga keutuhan rumah tangga anaknya.
Kontroversi cerpen Navis menurut Jassin menimbulkan rasa kurang puas dalam diri pengarangnya, sehingga sebelas tahun berselang, lahirlah novel Kemarau yang kemudian mendapat banyak perhatian bukan hanya karena novel ini merupakah novel pertama Navis, tapi dalam novel ini, Navis kembali menghidupkan cerpen Datang dan Perginya, namun dengan ending yang berlawanan dengan cerpennya. Hal tersebut senada denngan yang diungkapkan Navis dalam Ivan Adilla (2003), melalui Kemarau ia memilih agama sebagai pandangan hidup. Sebagai pengarang, Navis memang tertarik pada humanisme, tapi humanisme yang terkontrol oleh agama.
Pendekatan ekspresif, banyak digunakan pada abad ke-19 pada zaman romantik. Di Indonesia pendekatan ini berkembang pada masa Pujangga Baru yang dipelopori oleh Amir Hamzah, Sanusi Pane, ataupun Tatengkeng dengan puisi liriknya dan berlanjut bahkan menurut Teeuw via Ratma, sampai masa Sutardji Calzoum Bachri. Maka jika kemudian Chairil Anwar dan Amir Hamzah, menulis yang hanya dapat dimengerti oleh penyairnya sendiri, tidaknya mengherakan.
Mengenai cerpen Datang dan Perginya, Jassin memberikan catatan, mungkin saja karya Navis menggambarkan pengarang hanya mementingkan persoalan dalam hidup atau pengarang menyerahkan suatu persoalan yang diangkat dari suatu peristiwa untuk dikupas pembaca. Lebih lajut, Jassin menjelaskan ada dua pendapat mengenai sikap pengarang dalam menampilkan suatu masalah. Pertama, pengarang yang menampilkan suatu masalah dengan pemecahannya, kedua, pengarang yang membiarkan permasalahan dikupas oleh pembaca sendiri.
Pendekatan pragmatik memusatkan perhatian terhadap peran pembaca dan bertujuan memberikan manfaat kepada pembaca. Menurut Ratna (2007)¸ dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah yang dipecahkan melalui pendekatan pragmatik, diantaranya adalah berbagai tanggapan masyakat tertentu terhadap sebuah karya sastra.
Berdasarkan sikap pengarang dalam menampilkan suatu masalah, maka Jassin pun membagi pembaca kedalam dua golongan, pembaca pasif yang sekadar menerima atau pembaca kreatif yang tergugah dan berpikir.
Sebagai penutup, Jassin menulis lebih menyukai karya yang dapat menimbulkan pertikaian pendapat karena dengan begitu pembaca diajak berpikir, dapat mengemukakan bantahan dan mengajukan kesimpulan sendiri dibandingkan dengan karya yang sekadar mengisahkan kejadian-kejadian dan gagasan yang biasa saja.
Sebagai sosok yang dijuluki Paus Sastra Indoensia, Jassin melakukan kritik terhadap karya dengan memasukan berbagai pendekatan untuk menentukan bagus tidaknya suatu karya, salah satunya adalah pendekatan agama. Hal ini membuat Jassin terlihat mengedepankan intuisi dibanding melakukan kritik analisis yang mendalam terhadap karya.
Metode intuitif sendiri merupakan kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami unsur-unsur kebudayaan. Lebih lanjut, Ratna (2007), menjelaskan metode ini sebagai upaya manusia untuk memahami kebudayaan dengan pikiran dan perasaannya (intuisi), penafsiran, unsur-unsur, sebab akibat dsb. Salah satu yang menjadi ciri khasnya adalah komtemplasi, pemahaman terhadap berbagai gelaja kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan individu dan alam semesta.
Dalam ulasannya kali ini, selain mencoba menganalisis karya dengan teori ekspresif, pragmatik, dan mimetik, Jassin pun memasukan metode intuitif untuk melakukan analisis karya. Metode intuitif ini sering kali digunakan untuk memahami karya sastra, khususnya sebelum lahirnya strukturalisme.
Daftar Pustaka
Adilla, Ivan. 2003. A.A. Navis: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo
Jassin, H.B. 1983. Sastra Indonesia sebagi Warga Sastra Dunia. Jakarta: Gramedia.
Lambropoulos, Vassilis dan David Neal Miller. 1987, Twentieth Century
Literary Theory, New York: State University of New York Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya
No comments:
Post a Comment