Tuesday, April 12, 2011

Mengintip Fira Basuki Lewat Jendela, Pintu, Atap


 Oleh Novi Diah Haryanti

“L’ âme n’a pas de sexe”, jiwa tidak punya kelamin. Itulah salah satu filsafat pencerahan yang diusung Erich Fromm dalam salah satu bukunya The Art Of  Loving. Jiwa memang tidak punya kelamin, hal tersebut dapat kita lihat dari bagaimana seorang Fira Basuki, atau juga para penulis lain yang bermetafor dari seorang perempuan menjadi laki – laki ataupun sebaliknya. Sebuah trilogi “Jendela, Pintu, Atap” membawa wanita kelahiran Surabaya 7 Juni 1972 menjadi salah satu penulis wanita yang buku – bukunya sangat diminati oleh penikmat sastra Indonesia saat ini.


Selain bentuk Cover yang menurut saya menarik hal lain yang membuat kita ingin mengetahui isi buku ini adalah bagaimana Fira Basuki mencoba bercerita tentang kedua tokoh sentral yaitu June Larasati Subagio (June, dalam Jendela - jendela) dan Djati Suryo Wibowo (Bowo, dalam Pintu). Gaya bertuturnya membuat pembaca seakan mendengar suatu obrolan panjang, menjadi kelebihan tersendiri dari trilogi ini.

June atau Fira?
Sapardi Djoko Damono (sebuah pengantar Kritik Sastra Feminis) dalam kata pengantarnya menyebutkan tokoh – tokoh yang diciptakan pengarang pengarang perempuan lebih merupakan ‘manusia perempuan’ dan bukan sekedar konsep bagaimana seharusnya menjadi perempuan (maju).  
        
Jendela – jendela, merupakan bagian pertama dari sebuah trilogi. Merupakan pembuka yang cukup menarik, Fira senganja menampilkan tokoh June seorang wanita muda pekerja keras (wanita karir) lengkap dengan berbagai permasalahannya. June seorang wanita muda berdarah Jawa yang kita kira awalnya lugu, ternyata mempunyai pengalaman yang fantastis dengan laki – laki. Fira mampu membangun karakter June dengan sangat hidup, dialog – dialog mengalir lancar dari mulutnya. Sehingga kita mendapat gambaran jelas tentang tokoh yang satu ini. Cantik, cerdas, supel, mandiri dan emisional, June juga mudah tergoda, senang belanja, terlalu gamang dengan perasaannya, sterotip wanita muda masa kini.  

June sebuah transformasi apik sebuah karakter. Membaca karakter June, seakan membuat kita berfikir jangan – jangan June itu Fira sendiri. Jika kita bandingkan keduanya memang mirip, mungkin Fira memang sengaja memasukkan dunia yang sudah dikenalnya sehingga karakter dan cerita yang ditampilkan jadi lebih hidup. 

Sama seperti pengarang wanita yang sekarang banyak bermunculan, Fira membicarakan kehidupan wanita lengkap dengan urusan kamar tidurnya. Bahkan June digambarkan sebagai wanita yang merasa tidak puas dengan urusan yang satu itu. Sebuah esai Hélène Cixous ,”the Laught of the medusa” merupakan sebuah manifesto terkenal tentang tulisan wanita yang menyerukan wanita untuk meletakkan ‘ tubuh’ mereka ke dalam tulisan – tulisannya. Cixous menulis tentang ketaksadaran wanita,” tulislah dirimu sendiri. Tubuhmu harus menjadi pusat. Hanya dengan demikian sumber – sumber ketaksadaran yang berlimpah ruah akan terpancar keluar”. Imajinasi wanita tak terbatas dan Indah. 

Fira memang tidak sedasnyat Ayu Utami, Clara Ng, Djenar Maesa Ayu dalam mengutak – atik yang satu itu, tapi urusan rumah tangga, perselingkuhan akan selalu ditemukan dikarya – karya Fira berikutnya (Biru, Rojak). Endriani DS, Pemerhati Sastra dan Masalah Perempuan ( Republika, Minggu 12 Oktober 2003) penulis perempuan ekspresi seninya dipandang tidak jauh dari hal cinta, keluarga dan seksualitas perempuan. Mereka dianggap hanya mampu bermasturbasi dan melahirkan sastra kamar. Hanya sebatas mengotak – atik keperempuanannya sendiri. Seksualitas tetap menjadi titik tekan, seakan hanya itu kemampuan dan pengetahuan mereka untuk bicara.

Mungkin Seks menjadi satu mata rantai yang menghubungkan suatu cerita, atau bumbu penyedap agar berasa lebih nikmat. Tapi jangan sampai nilai moral yang ingin disampaikan dalam suatu karya menjadi berkurang karena adanya ‘sesuatu’ yang tidak perlu.          

Perjalanan Spiritual Bowo  
Mari kita tutup jendela, dan membuka pintu. Jika Fira kurang berhasil menghidupkan tokoh Jigme (suamiJune) dalam Jendela – jendela, maka Fira  sukses menciptakan tokoh ‘Bowo’ yang mampu membuat saya jatuh hati. Karakter Bowo yang sangat kuat dengan berbagai falsafah hidupnya, membuat Pintu serasa lebih memuaskan saya. Seperti ulat yang berubah menjadi kupu – kupu, seperti itulah Fira menyulap dirinya dari seorang wanita bernama June menjadi seorang lelaki bernama Bowo yang tak kalah hidup dengan sosok wanita yang diciptakannya (June).  
   
“…śariram yad avāpnoti yac cāpy utkrāmatiśvarah grhitvaitāni samyāti vāyur gandhāśayāt…”
                                    Bhagavad – Gita
Artinya:” makhluk hidup di dunia material membawa berbagai paham hidupnya dari suatu badan ke badan yang lain seperti udara membawa bau. Dengan    demikian ia menerima jenis badan tertentu, lalu sekali lagi meninggalkan badan itu untuk menerima badan lain” ( Pintu hal 9)

Fira sangat pandai dalam meramu. Berbagai macam budaya dicampur- adukkannya menjadi satu, Jawa, Tibet, Apache dan daerah – daerah lainnya. Dari ilmu kebatinan sampai hal yang berbau gaib membuat pembaca Pintu masuk ke alam yang bahkan tak pernah coba kita ketuk sebelumnya. 

Djati Suryo Wibowo (Bowo) mempunyai karakter yang cukup unik, sejak lahir sudah berbeda dengan bayi – bayi lainnya. Berbagai laku kebatinan dijalankannya. Bowo dengan mata ketiganya mampu medeteksi aura orang, pembawaanya diam, dia tidak pernah menggunakan ilmunya untuk berbuat jahat pada orang lain, atau mencoba menarik wanita perhatian wanita. Toh pada akhirnya wanita seakan tak pernah berhenti untuk mendekatinya.

Dalam pintu Fira juga mencoba untuk memberikan wejangan halus mengenai pegangan kehidupan yang disampaikannya lewat Eyang Putri (Yangti) yang terus bertutur pada Bowo. Kejawen, falsafah hidup berumah- tangga, beragama menyembah Gusti Allah, dan selalu peka terhadap lingkungan, manusia dan sekitar merupakan petuah Yangti yang selalu dipegang Bowo.

Atap Rumah, Atap Jiwa atau Atap Hati?
    Atap rumah, atap jiwa atau atap hati? Atap penyempurna sebuah pondasi tanpa atap semua jadi tak berarti. Hal tersebut yang muncul dalam benak saya ketika menuntaskan Trilogi ini. Atap mana yang kita cari? Atap, sebuah penutup yang menyisakan perenungan bagi pembacanya. Cinta seperti apakah yang dicari June? June yang mencari kekasih hatinya yang sempat mati hingga ke Boulder, Colardo toh pada akhirnya ia kembali ke atap yang tidak hanya memberikan keteduhan hati tapi juga jiwa.
   
Aku meninggalkannya sekali lagi.
    Jawaban itu aku temukan. Aku ke Boulder untuk memastikan apakah aku mencintainya. Jawabannya ya. Apakah cintaku cukup besar untuk memilihnya? Jawabnya: tidak. Mengapa? (Atap, hal 186)  
     Apalah artinya cinta. Aku harus berkonsentrasi pada pria lain. Seorang pria yang tidak pernah membuatku meletup – letup. Seorang pria yang menyanggaku kalau aku goyah. Seorang pria yang suamiku. (Atap, hal 189)

    Akhir dari petualangan June. Pengakuan seorang adik pada kakak diatas atap rumahnya. Berbeda dengan June, Bowo terlihat lebih sopan dari adiknya dalam urusan rumah tangga. Semenjak menikah, ia melepaskan gelar Don Juan yang disandangnya. Bahkan ketika Bowo menyadari cinta yang mampu memberikannya ketenangan batin (jiwa) bukan Aida istrinya ia memilih untuk mengaku dan berterus terang. Meminta izin untuk menikahi Putri tanpa maksud untuk meninggalkan Aida. Bowo ingin memiliki putri tanpa ingin melepaskan Aida. , “apakah mungkin seorang mencintai dua orang sekaligus?”

Fira terlihat agak kerepotan dalam membangun citra Bowo agar selalu adil terhadap kedua istrinya, hingga Aida lah yang akhirnya menyerah, membuat Bowo terpaksa melepaskaknya. Bukankah cinta pada hakekatnya adalah membebaskan? Pergolakan batin memang sengaja dimainkan Fira. Konflik tidak lagi digantungnya, tapi diberikan kunci jawaban yang paling tepat. Atap menjadi penutup yang mampu membuat kita menarik nafas panjang begitu menutupnya.

Daftar Pustaka

Basuki,Fira. (2001). Jendela-jendela. Jakarta: Grasindo
_____.(2002). Pintu. Jakarta: Grasindo
_____.(2002). Atap. Jakarta: Grasindo

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...