Tuesday, April 12, 2011

Umar Kayam dan Transformasi Tiga Priyayi

           Oleh Novi Diah Haryanti

Umar Kayam Si Priyai Asli
Priyayi Jawa, itulah gambaran yang tepat lelaki kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932. Dengan gelar Doktor dari Cornell University, Ithaca, tahun 1965 sekarang ia mengajar sebagai Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Umar Kayam (UK) memang jauh dari birokratis tapi tata krama dia pegang teguh. UK bukanlah penulis cerpen apalagi novel yang produktif tapi karya-karyanya selalu ramai jadi bahan pembicaran orang, begitu pun ketika ia menulis esai dan makalah. Entah sengaja atau tidak, ini adalah bagian dari strategi kebudayaan UK, telaten, diulang-ulang agar gagasannya masuk dalam ingatan masyarakat. Membaca dua karya UK (Bawuk dan Sri Sumarah serta Para Priyayi) terlihat jelas bahwa UK sangat memperhatikan hal-hal kecil serta bahasa yang tidak multitafsir membuat saya merasa kagum dengan sosok yang satu ini, karna dengan sederhana kita dapat langsung masuk ke dunia ciptaanya. Ideologi politknya yang cenderung sosialis menurut Sapardi Djoko Damono dikarenakan kedekatannya dengan Seodjatmoko.  

Sekilas Cerita Para Priyayi (PP)
            Cerita Para Priyayi dimulai dengan gambaran desa bernama Wanagalih sebuah ibukota kabupaten di Jawa Timur. Tidak berbeda jauh dengan ibukota kabupaten lain di jawa, Wanagalih pun memiliki pendopo, alun-alun dan beringin kembar. Tiga sungai melewati Wanagalih, Kali Madiun, Bengawan Solo dan Kali Ketangga (yang memiliki makna mistis). Novel ini memakai gaya tutur orang pertama yang kemudian memunculkan tokoh ke-aku-an bernama Lantip.
            Bab ‘Lantip’ bercerita tentang seorang anak desa bernama asli Wage. Wage  adalah anak bakul tempe keliling Ngadiem, yang karena kedekatannya dengan keluarga Sastrodarsono membuat keluarga tersebut mau membiayai Wage sekolah. Nama Wage pun diganti menjadi Lantip yang artinya cerdas dan tajam otaknya. Di rumah itulah ia belajar peradaban priyayi dari bersih-bersih, mengatur meja, memijit, berkebun. Karena kepandaianya, di sekolah ia menjadi pemimpin teman-temannya. Hingga akhirnya ia menjadi doktorandus, pegawai negeri (Priyayi), mengalami mobilitas sosial dari anak desa yang miskin menjadi priyayi.
            Dengan judul Sastrodarsono kita diajak untuk melihat perjuangan Soedarsono anak petani asli, wong cilik yang berhasil sekolah dan diangkat menjadi guru bantu. Ayahnya bersikeras menyekolahkan Soedarsono karena ia menggarap tanah Ndoro Seten dan berkat pergaulannya itu dia berusaha agar anaknya dapat menjadi priyayi. Kakeknya Mbah Martodikromo, seorang mandor tebu sudah mencita-citakan anaknya sekolah dan menjadi priyayi. Dari sekian banyak anak cucunya hanya Soedarsono  yang berhasil menjadi priyayi. Oleh karena itu ia diberi nama Sastrodarsono. Mula-mula ia guru bantu, kemudian jadi guru dan akhirnya mantri guru. Ia akhirnya kawin dengan Siti Aisyah alias Ngasiah yang juga priyayi. Merekalah yang nantinya menjadi cikal bakal priyayi untuk keluarga besar Sastrodarsono.
            Anak-anak Sastrodarsono (Noegroho, Hardojo dan Soemini) berhasil menjadi priyayi melalui sekolah mereka. Berbeda dengan keponakan Ngasiah (Sri, Soedarmin, dan Soenandar) yang gagal. Soenadar  adalah sosok yang licik, jahat, jahil dan suka mengganggu perempuan. Waktu Sartrodarsono mendirikan sekolah disebuah desa, Soenandar menghamili seorang gadis, Ngadaiem (ibu Lantip) dan kemudian kabur.
            Kembali lagi ke Lantip, dibuka dengan membeberkan bahwa Soenandarlah ayah Lantip, dilanjutkan dengan kesusahan yang dialami pada zaman Jepang hingga akhirnya terpaksa Lantip ikut Hardojo dan berteman akrab dengan anaknya Harimurti.
            Bab Hardojo menceritakan kisah percintaannya dengan Nunuk yang karena perbedaan agama akhirnya mereka tidak jadi menikah. Walupun keluarganya termaksud islam abangan tapi ia tetap enggan meninggalkan agamanya. Akhirnya ia menikahi Sumarti muridnya di HIS.
            Bab Noegroho, sulitnya kehidupan pada masa penjajahan Jepang, membuat ia yang tadinya berprofesi sebagai seorang guru harus rela mengganti pekerjaannya menjadi tentara profesional.
            Para Isteri, adalah penuturan Ndoro Guru Putri alias Nyonya Sastrodarsono tentang putrinya Soemini dan menantunya Sus (istri Noegroho). Disinilah terlihat jelas peran istri dan ibu dalam keluarga priyayi.
            Bab berikutnya kembali Lantip. Dengan sikapnya yang cekatan dia dan Harimurti berusaha mengurai benang kusut yang melilit keluarga Noegroho. Bab ini ditutup dengan menceritakan Harimurti yang suka dengan kehidupan wong cilik.
            Bab Harimurti mengambil latar Yogya. Dibuka dengan kisah kasih asmara antara Harimurti dengan Gadis yang mempunyai nama asli Retno Dumilah. Tetapi dia menganggap nama tersebut berbau feodal akhirnya dia buang dan diganti dengan nama pena Gadis. Gadis yang aktivis lekra akhirnya membawa Harimurti terjun bersamanya. Ketika G30S meletus mereka berdua ditahan, untungnya Pakde Noegroho bisa membebaskan Harimurti. Sayangnya Gadis keburu meninggal sebelum keluar, dia meinggalkan anak kembar untuk Harimurti.
             Bab terakhir Lantip, berisi kata penutup di Kuburan Mbah Kakung Sasrodarsono.
“...semangat priyayi sebagai semangat pengabdian pada wong cilik ...dan perjalanan mengabdi masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak akan ada habisnya....” kata Lantip (PP, hal 306-307)
 Kontroversi Para Priyayi
            Banyak kritisi sastra yang ditempatkan pada posisi mendua bila dihadapkan dengan Para Priyayi, apakah novel PP harus dilihat sebagai suatu karya dalam ilmu sosial dan politik ataukah dilihat sebagai suatu karya fiksi. Pengarang seolah-olah tidak mampu membebaskan dirinya secara penuh dan memutuskan bahwa dia menulis sebuah novel dan bukan karya ilmiah dibidang ilmu-ilmu sosial. Tapi menurut saya hal ini bisa dimaklumi jika melihat alasan UK menulis novel ini. Katannya ‘karena ilmu-ilmu sosial tidak lagi mampu menjelaskan banyak hal’. Mengejutkan memang, tapi dibalik kontoversialnya novel PP karena bagi mereka yang katanya cinta demokrasi novel ini dijadikan bulan-bulanan, mendahulukan gengsi ketimbang prestasi, jauh dari mentalitas modern yang efektif dan efisien (Darmanto Jatman  dalam Artikel Umar Kayam Kuasa Budaya yang Fenomental), Kita dapat menempatkan novel ini sebagai karya yang menyimpan fakta sejarah dibungkus rapih dengan kata-kata sehingga menjadi suatu cerita. 

Tiga Generasi Priyayi                                   

Novel Para Priyayi adalah novel yang berbicara tentang perubahan, dari wong cilik ke priyayi, dari priyayi ke pegawai negeri, dari kota kecil (Wanagalih) ke kota besar (Jakarta, Yogyakarta). Perubahan tersebut digambarkan oleh tiga generasi priyayi dengan zaman, permasalahan dan tugas yang berbeda. Dimulai dari generasi pertama Soedarsono, dialah yang  saya ibaratkan sebagai pengumpul bahan dan merancang suatu bagunan besar. Dalam novel ini tentu saja keluarga besar Sastrodarsono.
Lalu generasi kedua, anak-anak Satrodarsono (Noegroho, Hardojo, Soemini), mereka lah yang membangun keluarga besar mereka dengan bekal priyayi yang sudah melekat. Lalu generasi ketiga, cucu Sastrodarsono (Lantip, Harimurti, Merri, tomy) bertugas memastikan bangunan yang ada sudah kukuh, mereka pula yang menjaga nama besar Keluarga Sastrodarsono.   
Menjadi priyayi tidak hanya untuk meningkatkan status sosial tetapi juga meningkatkan kekuasaan. Hanya saja sistem kekuasaan itu berlapis-lapis. Pada level negara, priyayi dapat menjadi hamba, abdi yang tidak punya kekuasaan sama sekali. Sedangkan pada level desa kadang ia mempunyai kekuasaan walau dengan kadar dan batas tertantu. Kekuasaan priyayi menjadi penuh dalam lingkungan keluarganya, baik keluarga kecil ataupun keluarga besarnya. 
 Wanita Dalam Para Priyayi
            Dalam keluarga priyayi, seorang istri dituntut untuk selalu bijaksana, dalam keadaan sulit istrilah yang berperan. Hal ini telihat dari penokohan Nyonya Sastrodarsono, pintar memasak, dapat mengendalikan perasaan, bangun lebih pagi dari suaminya. Setidaknya ada dua peristiwa yang menyakut keluarga Sastrodarsono yang menunjukan isteri priyayi yang bijaksana sangat diperlukan. Yaitu saat sang suami ditempeleng oleh jepang dan tahun 1948 waktu PKI memberontak. Kemudian dua kejadian yang menimpa anaknya Soemini dimana suaminya jatuh cinta pada penyanyi keroncong dan peristiwa Merie yang meimpa keluarga Noegroho.    

Menutup Buku Priyayi

            “...adapun warna semangat itu bukanlah terutama warna halus, luwes, elegan, dan filsafat rumit seperti yang disangka banyak orang, bahkan oleh kaum priyayi sendiri. Warna semangat itu adalah pengadian kepada masyarakat banyak , terutama pada wong cilik,tanpa pamrih kecuali berhasilnya pengabdian itu sendiri. Warna itu adalah warna semangat kerakyatan. Itulah galih yang ingin ditumbuhkan oleh Embah Kakung dalam keluarga besarnya dalam semangat kerukunan dan persaudaraan...”   (PP, hal 306)
             Buku ini memang bukan suatu pengantar tidur yang bisa membawa kita bermimpi indah. Tapi buku ini, terlepas dari kegala keruwetannya dapat membuka cakrawa berfikir kita tentang suatu konstruksi budaya yang terkadang ingin coba di terobos oleh beberapa orang. Dan keruwetan serta senyum sinis kita bila mendengar kata Priyayi yang menggambarkan sesuatu yang serba feodal, konservatif, akan hilang seiring dengan hilangnya debu pada lembar buku ini. Itu yang dapat saya tangkap dari novel PP, jika anda merasa penasaran dan tidak setuju silahkan anda buka lembar demi lembar, lebih telaten dan sabar. 
 “Kalau menurut kamu apa arti priyayi itu Tip?”
“Sesungguhnya saya tidak pernah tahu, pakde. Kata itu tidak terlalu penting lagi bagi saya.” (PP, hal 307)


 20 Juni 2004 *Belajar nulis*

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...