oleh Novi Diah Haryanti
“Maafkan anak-anak kami,” katanya, “mereka memang benci dengan Cina.” (SGA, Clara)
Pada 1848 Marx dan Engels menerbitkan Manifesto Komunis yang mengungkapkan bahwa sejarah sosial manusia tidak lain adalah sejarah perjuangan kelas (Sapardi, 1978). Sastra sebagai cerminan masyarakatnya, membuat hubungan antara sosiologi sastra dan marxisme tidak dapat dipisahkan. Namun, kritik sastra marxis bukan sosiologi sastra yang mengkaji bagaiman novel dipublikasikan dan apakah novel tersebut menyebut kelas pekerja (Eagleton, 2002). Kritik sastra marxis lebih memusatkan pada bentuk, gaya, dan maknanya sebagai produk sejarah tertentu. Pemahaman yang revolusioner terhadap sejarah tersebutlah yang menjadi kekhasan kritik sastra marxis.
Lebih jauh, Marx melihat hubungan sosial antar manusia terkait dengan cara mereka berproduksi dam kehidupan material. Dimulai dengan hubungan sosial antara budak dan majikan yang dikenal dengan feodalisme, pada tahap selanjutnya hubungan kelas kapitalis yang menguasai alat produksi dengan kaum proletar yang tenaganya diperas guna mendapat keuntungan. Hubungan tersebut oleh kalangan marxis disebut ‘basis ekonomi’ atau ‘infrastruktur’. Lalu muncullah superstuktur (kesadaran sosial) yang bersifat politis, religius, etis, estetis, yang disebut ideologi. Ideologi yang dimaksud bukan hanya sekumpulan doktrin, tapi juga menggambarkan bagaimana manusia memainkan perannya dalam masyarakat kelas, nilai-nilai, dalam ide dan citra yang mengikat mereka pada fungsi sosial dan mencengah mereka dari pengetahuan yang benar tentang masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Sebagai penulis, Seno memiliki kegelisahan politik yang demikian besar, yang mendorong dirinya untuk terus berkarya. Menjadi menarik ketika Seno kerap menggunakan sudut pandang (point of view) yang untuk, khas, khusus, individual, suara-suara orang terpinggirkan (marginal), orang-orang yang tertindas, termasuk suara perempuan yang tertindas budaya patriarki (Sambodja, )
Sudut pandang itu pula yang diterapkan Seno dalam cerpen Clara. Sebagai seorang jurnalis, Seno mencoba menggambarkan sisi lain tragedi 98, yang tidak hanya menampilkan wajah buram bangsa lewat penjarahan dan pembarakan, tapi juga pemerkosaan yang dialami oleh perempuan etnis Cina. Selain itu, Seno memperlihatkan persoalan yang erat kaitannya dengan marxisme yaitu basis ekononi dan superstruktur.
Pada awal cerita, Seno mencoba menyindir pembaca tentang memori kolektif yang telah tertanam (ditanamkan) oleh pemerintah tentang makna warna “merah”.
“Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya”
Merah adalah bahaya karena melambangkan komunisme (Partai Komunis Indonesia) dan Cina sebagai salah satu negara komunisme terbesar di dunia, membuat Indonesia pascagestapu, melonggarkan hubungan dengan negara tirai bambu tersebut. Berbagai hal yang berbau Cina, sempat hilang dari negeri ini. Orang keturunan Cina mengindonesiakan namanya, terkungkung dan terintimidasi dengan ‘kecinaan’ mereka seakan-akan mereka hanya ‘numpang’ di negeri ini.
Dalam cerpen Clara, Seno bercerita lewat perspektif dua tokoh (sudut pandang). Pertama adalah aku (seorang petugas berseragam), dan saya ( Clara). Sudut pandang aku terlihat dari kutipan berikut.
Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi, tapi aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tau siapa diriku sebenarnya.
Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku… aku bertugas sebagai pembuat laporan… aku sudah menjadi ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi menyenangka, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif, pokonya selalu disesuaikan dengan kebutuhan
Lewat sosok aku, Seno menyindir bagaimana petugas berseragam yang kerap menyulap apa yang benar menjadi salah, begitupun sebaliknya. Tindakan petugas berseragam tersebut, tidak hanya ditemui dalam cerpen Seno, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, saya sebagai suara perempuan yang tertindas oleh patriarki terlihat dari kutipan berikut.
Api sudah berkorbar di mana-mana ketika mobl BMW saya melaju di tol. Saya menerima telepon dari rumah. “Jangan pulang,” kata mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar.
Lewat permainan tanda merah dan sudut pandang, Seno bergerak pada persoalan ketimpangan kelas sosial. Jika pada awalnya, keturunan Cina kerap menguasi alat produksi atau pemilik modal, dengan terjadinya krisis moneter di tahun 1997 yang menyebabkan usaha dan bisnis mereka goyang. Aset kekayaan menurun drastis dan hutang membengkak karena nilai tukar rupiah yang terus menurun terhadap dolar. Situasi ini membuat, banyak perusahaan mem-PHK karyawannya. Namun, tidak demikian dengan Clara, sebagai pengusaha yang sedang mengalami pailit, Clara tetap memerhatikan nasib karyawannya.
Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan.
Sayangnya apa yang dilakukan Clara, tidak menjadi penting karena identitas keturunannya. Kemiskinan membuat orang bertindak beringas. Identitas ‘asli’, pribumi, atau muslim menjadi penting. Warga keturunan yang telah menganggap Indonesia sebagai tanah airnya karena lahir dan dibesarkan di Indonesia tetap menjadi incaran.
“Cina!” “Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Benarkan sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
“Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
“Sialan! Mata lu sipit begitu, ngaku-ngaku orang Indonesia!”
Identitas, keindonesiaan yang dimiliki Clara menjadi sia-sia manakala mata sipitnya menjadi identitas permanen yang langsung menstereotipkan kecinaannya. Walaupun Clara lahir di Indonesia, tidak dapat berbicara dalam bahasa Cina, dan berpacaran dengan orang Jawa, ia tak luput dari penjarahan dan perkosaan yang dilakukan 25 orang laki-laki berkaki lusuh, sebagian tanpa alas kaki.
Clara diperkosa, begitu pula dengan kedua adiknya, Monica dan Sinta yang tidak hanya diperkosa tapi juga di lepar kedalam api, hingga mati. Sedang Mamanya, setelah diperkosa memilih untuk bunuh diri. Tidak hanya Clara dan keluarga yang mengalami perkosaan, tapi juga warga keturunan Cina lainnya. Dengan sangat hati-hati, petugas berseragam menangani kasus ini agar tidak tercium oleh media dan LSM dan menjadi masalah besarr. Ketertutupan inilah yang membuat kasus perkosaan terhadap perempuan keturunan Cina, tak pernah terselesaikan sampai saat ini.
Aku sudah melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak,” Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian. Tahan dia di situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama, jangan sampai ketahuan wartawan dan LSM!”
Perlakuan tidak manusiawi yang dialami Clara ternyata tidak hanya dilakukan oleh para lelaki tanpa alas kaki. Petugas berseragam yang diharapkan menjadi pelindung pun, memiliki dendam terhadap orang kaya (Cina) karena kemiskinannya. Sehingga tanpa rasa bersalah, petugas berseragam itupun tertantang mencicipi tubuh perempuan keturunan Cina yang putih mulus. Apa yang dilakukan oleh petugas berseragam itu menurut Marx dan Engels adalah akibat langsung dari kehidupan material manusia yang sangat mempengaruhi pemahaman, pemikiran, serta kehidupan spiritual manusia.
Aku juga ingin kaya, tapi meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan tidak pernah bisa kaya. Naik BMW saja aku belum pernah. Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya –apalagi kalau dia Cina. Aku benci sekali.
Apa yang ceritakan Seno adalah ekses dari kesenjangan yang terjadi antara pribumi dan keturunan. Kesenjangan itu, diperparah dengan kondisi perekonomian pada saat itu di mana terjadi inflasi dan PHK besar-besaran sehingga masyarakat banyak yang tak mampu membeli kebutuhan pokoknya. Ketakberdayaan dalam memehuni kebutuhan pokok itulah yang membuat manusia kalap, tidak hanya membakar dan menjarah toko, tapi juga memperkosa.
Lewat cerpen Clara, Seno bercerita tentang konflik kelas (pribumi-nonpribumi) yang selama ini terasa bagai api dalam sekam. Cerpen ini sangat menarik jika dianalisis berdasarkan kritik sastra marxis yang memusatkan perhatian pada bentuk, gaya, dan maknanya sebagai produk sejarah tertentu. Cara bertutur Seno dengan perspektif aku dan saya, membuat pembaca seakan-akan masuk ke dalam cerita serta merasakan perih dan dendam yang dialami tokoh saya dan aku.
No comments:
Post a Comment