oleh Novi Diah Haryanti
Ayah memasak di dapur. Ibu membaca surat kabar, kopinya masih mengepul. Kami saling membenci. Ribuan kali ayah mau membunuh ibu, tapi ibu berhasil lolos. Pertama pada waktu di tepi sumur. Waktu ibu menjenguk, ayah mendorong ibu. Tapi ibu berpegangan padaku, aku bisa mendorong ibu tak ada yang tahu. Tapi tak kulakukan. Sebab ayah harus membunuh ibu dengan tangannya sendiri, sebagai mana aku mau membunuh ayah dengan tanganku sendiri.
Kalimat tersebut dapat kita temui pada paragraf awal dari cerita pendek milik Hudan Hidayat yang berjudul Keluarga Gila. Memang tak ada yang lebih gila dari usaha saling bunuh dalam satu keluarga. Dilihat sekilas mungkin cerpen ini hanya rekaan si penulis belaka. Tapi jika kita telaah lebih lanjut maka akan terlihat unsur kenyataan yang mampu dituangkannya dalam bentuk yang tidak biasa.
Cerpen yang pernah dimuat di Media Indonesia ini memang bisa dibilang unik. Imajinasi sang pengarang yang liar mampu membawa pembaca ke alam yang tidak disadarinya. Lihat saja bagimana pergulatan antara ketiga tokoh utamanya, sang ayah yang ingin membunuh ibu pada saat mereka bersenggama, tapi ditahannya niat sang ayah karena takut polisi curiga dan terus bersenggama dengan posisi belati di samping ranjang. Tokoh ibu yang menahan hasrat sangat besar untuk segera mendorong Ayah ke dalam jurang. Sedang aku sendiri terus mencari akal bagaimana bisa membunuh kedua orang tuanya, tanpa terlepas dari keinginan untuk mati juga.
Apa iya ada keluarga yang mempunyai keinginan membunuh begitu besar satu sama lain?. Kalau dilihat keseluruhan dari Antologi cerpen Hudan Hidayat yang berjudul sama (keluarga Gila), dapat terlihat bagaimana Hudan membicarakan masalah kematian seolah – olah merupakan hal ringan yang biasa terjadi, bukan untuk ditakuti tapi malah dicari, kematian dan seks menjadi hal yang biasa dan tidak ditutup-tutupi.
Maman S Mahayana dalam pengantarnya mengatakan, cerpen keluarga gila menggambarkan penyimpangan ketiga tokoh utamanya. Ketiga – tiganya mengalami kepribadian terpecah (disosiasi) yang mengakibatkan ketiganya saling mengintai, memburu, dengan tujuan akhir membunuh. Keseluruhan tersebut tak terlepas dari masalah seksualitas, kekuasaan, pengorbanan, kanibalisme yang bersumber dari naluri – naluri manusia zaman purba.
Jika kita hanya sekali membaca cerpen ini, kita akan kebingungan dengan cerita yang ditawarkan Hudan serta sukar menebak pesan apa yang ingin disampaikan. Suasana kematian yang begitu akrab, membuat kita bertanya – tanya dengan cara apa mereka nantinya mati. Dari cerpen ini, kita diajak berkhayal tentang kematian. Tentang kehidupan mereka yang tidak biasa dan . kehidupan yang tidak biasa itu kembali ditegaskan pada tiap kalimat yang ada. Misalnya, “Aku mengiris daging dengan pisauku – paha Sinta. Gadis kecil yang kami bunuh tiga bulan lalu. Dagingnya kami masukkan dalam kulkas.”
Kejadian yang luar biasa, jarang ditemukan dikehidupan nyata. Tapi pada kenyataanya semua hal tersebut ada. Masih teringat jelas bagaimana sosok Sumanto yang mampu memakan daging manusia, menjadikannya sup. Lalu apa yang menjadi tidak mungkin. Keinginan kuat pengarang untuk mengakhiri ketiga tokohnya, terlihat diklimaks cerita.
Penentuan nasib para tokoh, membawa pembaca menikmati kegilaan –kegilaan yang disuguhkan Hudan, keingintahuan dengan cara apa nantinya kematian menjemput mereka memaksa pembaca menelan cerita tanpa ada yang tersisa.
Kecermatan Hudan dalam cerpen ini dapat dilihat dari pergulatan para tokoh untuk saling membunuh satu sama lain, Hudan tidak segera menghilangkan nyawa begitu saja. Tetapi mengulur dan membuat cerita dari tiap rangkaian peristiwa. Terlalu banyak kesempatan membunuh yang disia – siakan, seakan menunggu waktu yang tepat untuk segera mati. Agar setiap kematian yang terjadi dapat dinikmati.
Membaca karya Hudan kita merasa ngeri, keseluruhan karya Hudan memang mengusung kekerasan dan seks. Seperti yang dikatakan Isbendy Stiawan ZS seorang Cerpenis dan Sastrawan dari Lampung (Republika, 19 oktober 2003) bahwa Hudan melakukan ‘ sensasi ‘ dengan memasukan kata – kata yang dulu dianggap tabu ke dalam cerpen – cerpennya.
Berbeda dengan Isbendy, Nanang Sutisna, Pengamat Satra, alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (Republika, 7 Desember 2003), mengatakan, dalam kumpulan cerpen Hudan, kata yang dianggap tabu tidak lebih dari tiga kata, itupun tidak dianggap porno jika dilihat dalam konteks kalimatnya. Selebihnya ia menggunakan padanan kata misalnya senggama dan kemaluan dalam keluarga gila.
Cerpen ini memang mengaduk – adukkan khayalan dan realita. Pesan penting yang disampaikan Nanang untuk menikmati cerpen ini kita harus mencoba melihatnya dengan pemikiran orang gila.
Yah kegilaan yang diwaraskan. Si ibu yang mati tragis, sebuah beling yang tertancap di kemaluannya. Aku mati oleh tembakan pistol di perutnya sedang ayah kejatuhan lampu gantung kristal yang telah disiapkan aku hingga mukanya hancur.
Hudan meramu menjadi satu cerita yang tidak biasa, mengajak kita merasakan kematian dalam jarak dekat. Kekerasan yang sekarang menjamur, seakan – akan membuat kita berfikir tentang ketidak warasan yang terjadi di sekitar kita. Anak kandung yang diperkosa ayah, istri yang membunuh suami, anak yang membunuh orang tua dan pembunuh – pembunuhan lain yang terjadi dalam lingkup keluarga, seakan mensyahkan apa yang ditulis Hudan.
Pola berpikir Hudan yang agak sedikit gila itulah yang membedakan tiap karyanya. Dia tidak memasukkan kata – kata ‘ ribet ’ dalam cerpen keluarga gila, hanya dua kata yang tidak biasa kita gunakan dalam kehidupan sehari – hari yaitu cyanida dan cognac x.o. Jadi bukan kata yang membuat cerpen ini sulit untuk dimengerti, tapi pola pikir Hudan akan kesenangannya pada kematian.
Mungkin kita tidak bisa memindahkan karya Hudan ke dalam realitas kehidupan begitu saja. Tapi agak naïf juga berfikir kalau semua itu cuma rekaan belaka. Karena sadar atau tidak kematian dan pembunuhan ada di sekitar kita. Mengintai diam –diam atau bahkan secara terang – terangan.
2005
Terima kasih telah membagikan tulisan yang indah ini.
ReplyDelete