Thursday, June 9, 2011

Perempuan Bali dalam "Tarian Bumi"

Identitas Karya
Judul                     : Tarian Bumi               
Pengarang            : Oka Rusmini
Tebal                     : X + 224
Penerbit                : Idonesiaterra
Tahun terbit         : 2004

          Dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia terdapat fakta yang sulit dibantah, yakni jumlah penulis perempuan yang sangat sedikit jika dibanding laki-laki. Hal ini bisa dikatakan ironis karena sepanjang perkembangan novel Indonesia “dunia perempuan” ternyata merupakan tema yang cukup signifikan, sekalipun penulisnya adalah laki-laki.
Novel "Tarian Bumi"
          Di tengah kemarau penulis perempuan lahirlah satu novel yang mampu menarik hati para peminat sastra, Tarian Bumi. Novel karangan Oka Rusmini ini bercerita tentang perjuangan perempuan bali, ‘Luh’ yang dibiasakan untuk tidak mengeluh. Bagi orang bali, kasta sangatlah penting sehingga orang cenderung dinilai, dilihat, dan diperlakukan sesuai  dengan kastanya. Luh Sekar merupakan perempuan dari kasta Sudra yang menikah dengan seorang Ida Bagus Ngurah Pidada. Pernikahan tersebut membuatnya “naik kelas” menjadi seorang Jero Kenanga. Dalam pencapaiannya menjadi seorang Jero, Sekar berjuang dengan menggunakan berbagai macam cara. Semisal ia berusaha untuk menjadi seorang penari joged bumbung, hingga Sekar dapat menarik setiap mata lelaki agar melihatnya.
          Setelah sukses menjadi seorang Jero, Kenanga melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Ida Ayu Telaga Pidada. Telaga pun kemudian tak kalah cantik dan mempesona dengan ibunya. Dia bisa membuat lelaki mana saja jatuh hati padanya. Tapi sayang sebagai seorang bangsawan, Telaga malah jatuh hati dengan pemuda Sudra bernama Wayan Sasmita, hingga seluruh keluarga tak lagi mau mengenalnya. Penikahan antara seorang sudra dengan Ida Ayu dipercaya membawa bencana. Wayan pun meninggal tak lama kemudian. Lalu Telaga berjuang sendirian menghadapi keluarga Wayan yang menganggapnya pembawa bencana. Telaga harus berjuang menghidupi sendiri anaknya yang kembali lagi menjadi seorang Luh Sari. Telaga akhirnya kalah oleh adat. Membiarkan kepalanya untuk tempat cuci kaki seorang perempuan tua bernama Jero Kenanga yang tak lain ibunya. Telaga membiarkan ubun-ubunnya dibasahi air bilasan kaki ibunya, untuk melepaskan gelar Ida Ayu-nya dan kembali lagi menjadi seorang perempuan Sudra.      
          Dalam konteks ini novel Tarian Bumi menjadi sangat menarik. Pertama, novel ini ditulis oleh generasi baru yang notabene perempuan. Kedua, tema yang diangkat adalah posisi perempuan dalam kebudayaan Bali. Ketiga, novel yang berbicara tentang Bali sangat sedikit jumlahnya. Letak penting novel ini adalah sebagai sarana dokumentasi tentang masyarakat Bali, terutama mengenai posisi kaum perempuannya.
          Penulisnya sendirinya selain beberapa kali memenangkan sayembara penulisan cerpen dan roman, juga dikenal sebagai penyair. Selain itu, walaupun penulis dilahirkan di keluarga bangsawan Bali, namun tulisannya justru banyak yang mempertanyakan kondisi dan tata sosial berdasarkan kasta.
        Selain menarik dan relevan, novel ini juga memperkaya wawasan pembaca tentang lubuk-lubuk kebudayaan Bali serta menambah khazanah kesusastraan Indonesia.  Untuk pengajaran sastra di SMU, novel ini bisa membuka wacana dan padangan mereka tentang berbagi macam kebudayaan yang terdapat di Indonesia. Paling tidak bagi mahasiswa jurusan sastra, novel ini wajib dibaca sebagai salah satu rujukan untuk penulis perempuan yang bercerita dengan gaya berbeda dan mengusung isu feminisme dalam ceritanya. 

Novi Diah Haryanti
2005 

3 comments:

  1. Cerita ini sangat mencengangkan. Di balik eksotisme Pulau Bali, ternyata menyimpan problematika yang pelik. Perempuan Bali terbelenggu dengan adanya sebuah sistem perkastaan yang menindas habis hak-hak mereka. Telaga merupakan tokoh utama yang digambarkan sebagai perempuan Bali yang dengan beraninya memberontak budaya Bali. Telaga, yang merupakan seorang perempuan brahmana, dengan beraninya menentang sistem pernikahan dengan menikahi Wayan Sasmitha, seorang lelaki sudra. Hal ini sangat ironis karena sebagian besar dari kita hanya melihat keindahannya saja tanpa melihat kehidupan masyarakatnya yang terbelenggu.

    ReplyDelete
  2. Oka Rusmini menggunakan karya sastranya untuk menggungkapkan keadaaan masyarakat khususnya yang bertempat di Bali. Diskriminasi merupakan salah satu isu yang menggemparkan warga Bali. Seperti halnya yang terjadi kepada Luh Sekar, tokoh ini memunculkan suatu pergerakan yang berbeda. Tidak seperti tokoh lainnya, Luh Sekar berani menikah dengan seorang yang berkasta Brahmana. Namun setiap tindakan yang diambil pasti ada konsekuensi yang harus ditanggung. Dalam hal ini, Sekar harus rela dicaci maki oleh mertuanya dan menerima perlakuan yang tidak adil. Suaminya dibiarkan bergumul dengan hal-hal seperti sambung ayam dan metajen melainkan istirnya, Luh Sekar, harus mengurus rumah tangga, bekerja dan tetap diperlakukan semena-mena oleh suami dan mertuanya. Melihat perlakuan ini, pasti sungguh menyakitkan berada diposisi Luh Sekar. Sebagai penduduk pulau Bali, kita perlu menyatukan tujuan untuk mengurangi diskriminasi gender dalam pulau ini.

    ReplyDelete
  3. Di dalam cerita ini digambarkan dengan sangat kuat bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya sangat percaya dengan kebudayaan yang mereka junjung. Salah satunya adalah kepercayaan jika seorang brahmana menikah dengan seorang sudra akan mengakibatkan kesialan bagi keluarga sudra yang berkaitan. Contohnya dalam hal ini, Wayan Sasmitha dan Ida Ayu Telaga. Ida Ayu Telaga adalah seorang brahmana yang memutuskan untuk menikahi seorang sudra. Disini Ibu Wayan Sasmitha, Luh Gumbreg, percaya bahwa Telaga hendak membawa kesialan yang tak tertolongkan kepada keluarga Luh Gubreg. Padahal aslinya hal itu mungkin tidak berpengaruh sebegitu kerasnya karena kita semua berpijak dibumi yang sama dan menghirup udara yang sama. Maka dari itu, hal tersebut menggambarkan kepercayaan adat dan budaya di dalam novel ini. Di sisi lain, Telaga juga menjalani Patiwangi yaitu upacara yang dilakukan oleh orang Bali untuk menghapuskan kasta brahmana mereka dan lahir kembali menjadi sudra. Disini Telaga menjalani patiwangi agar ia sama seperti suaminya yaitu menjadi orang sudra. Hal ini dilakukan agar tidak membawa kutukan bagi keluarga suaminya. Kedua hal tersebut menunjukkan sisi kepercayaan tokoh-tokoh akan adat dan budaya yang dianut. Ini adalah salah satu aspek yang ingin dikemukakan oleh Oka Rusmini untuk menguatkan rasa budaya di dalam karya sastranya ini.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...