Monday, August 1, 2011

Love in a Time of Colonialism: Race and Romance in an Early Indonesian Novel

 Oleh Novi Diah Haryanti

Tulisan Paul Tickell dalam buku Clearing a Space: Postcolonial Readings  of modern Indonesian Literature memperlihatkan bagaimana wacana-wacana disipliner (ras dan Seksualitas) sangat menentukan pembentukan identitas-indetitas Barat Modern yang terkait dengan upaya mempertahankan dominasi bangsa Barat terhadap non-Barat.

Pertemuan antara penjajah dan terjajah, membentuk identitas–identitas hibrida yang menurut Homi Bhabha yang selalu menampilkan ambivalensi dalam wacana kolonial. Atau menurut Bhabha terjadi mimikri kolonial yaitu keinginan akan suatu Other yang telah di reformasi dan yang bisa dikenali sebagai subjek perbedaan yang nyaris sama tetapi tidak begitu sama.

Politik putih kolonial Belanda yang bertujuan menciptakan “Other”, yang satu kaki tertancap di Eropa dan kaki lainnya tertancap di dunia pribumi, ternyata tidak selalu dapat dikendalikan oleh penguasa kolonial. Beberapa dari Others tersebut menjadi susah diatur yang memilah-milah suber linguistik, kultural, dan historis baik dari tradisi Barat maupun pribumi, sehingga seringkali tidak selaras dengan kepentingan kekuatan-kekuatan penjajah maupun elite tradisional.

Salah satunya adalah Marco Kartodiktromo yang mampu meniru dan mengejek kontradiksi-kontradiksi dari ideologi kolonial tentang ras dan gender. Tickell pun mencoba mendefinisikan apa yang dilakukan Marco terhadap wacana asing tentang ras dan indentitas, bagaimana ia menerjemahkan wacana tersebut ke dalam bahasa Melayu rendah? Dan bagaimana Marco menalarkan wacana asing tersebut, apa yang dibuang, dipelihara dan apa yang dimodifikasi dalam upaya mengarahkan gagasan tersebut ke tujuan politis dan kultural baru?

Tentu apa yang dilakukan Marco bukanlah yang mudah, karena dia hidup di zaman ketika superioritas teknis orang Eropa dengan cepat diubah menjadi superioritas moral yang kuat yang pada gilirannya membenarkan kepemilikian kolonial sebagai suatu misi penyebaran peradaban. Hal inilah yang bahkan membuat Marco harus menghabiskan hidupnya di Boven Digul, Irian Barat karena penyakit Malaria pada 1932.

Matahariah, ditulis dalam tiga bahasa, teks heteroglossic (gado-gado aneka bahasa), Belanda, Jawa, dan Bahasa Melayu. Novel yang di set pada 1916 ini menyodorkan detail gaya hidup para tokoh yang agak santai dan borjuis, serta petualangan interrasial mereka yang romantis, terlibat banyak pergunjingan (ras, politik dan identitas), serta hubungan yang radikal dan transgresif (wanita kulit putih dan lelaki Jawa hidup dalam dosa).

Hal lain yang cukup menarik menurut Tickell adalah melihat kata-kata apa, istilah apa, sumber-sumber leksikal apa yang dimiliki Marco dan pembaca Melayunya untuk menelusuri masalah-masalah terkait ras, politik, dan identitas tersebut.

Ketika novel ini berbicara politik, bangsa digunakan dengan konsisten untuk diparalelkan dengan gagasan Barat tentang nation, nasionalitas dan ras. Kata bangsa, membetuk basis bagi inklusi dan eksklusi kelompok yang tergambar sepanjang garis nasionalitas dan ras, tapi juga menciptakan perbedaan-perbedaan dan aliansi berbagai bangsa menurut di sisi mana mereka berada sepanjang garis pemisah koloni. Misal bangsa tertindas, Jawa, Azia, dan Boemipoetra dan di sisi lain Belanda, Europa, dan bangsa jang memerintah. Pada titik ini, identitas bersifat geografis, dalam arti orang-orang didefinisikan berdasarkan tempat kelahiran mereka.

Identitas juga dipandang sebagai masalah sentimen (‘berperasaan’), semisal menjadi ‘seorang Hindia Sedjati’ atau menjadi seorang Belanda sejati, yang bisa dilakukan dengan mempelajari prilaku, adat istiadat, makanan dan bahasa ‘si lain’. Selain itu, dalam Mataharian, ideologi dan keyakinan politik bersama, sosialisme, revolusi, dan anti imperialis adalah ikatan yang mempersatukan Mataharian dengan teman-teman pria Asianya. Dalam Matahariah, ras menjadi kekuatan eksklusi dan perpecahan dalam masyarakat Hindia.

Novel-novel yang lahir sekitar 1910 sampai awal 1920 secara aktif menanggapi, menggugat, dan menolak wacana kolonial tentang ras. Bagi arus utama representasi sastra Indonesia, masalah ras tersebut harus lenyap dan ‘bungkam’.  Ironisnya menurut Tickell, ‘kelenyapan’ orang Belanda, Eurasia, dan Cina dipandang sebagai kemenangan de facto bagi ideologi kolonial tentang perbedaan ras, pemisahan, dan eksklusi.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...