Wednesday, September 7, 2011

MITOS-SEMIOTIKA (Barthes)

            Barthes (1915-1980) merupakan pelopor semiotik yang mengembangkan strukturalisme pada semiotik teks. Salah satu teorinya yang terkenal ialah mitos yang sering dipertukarkan dengan pengertian mitos yang telah lama dikenal di Indonesia, yaitu cerita yang menampilkan makhluk suci dalam bentuk yang konkret dan dipercayai kebenarannya oleh masyarakat tertentu.

            Bagi Barthes, mitos adalah sistem komunikasi karena mitos menyampaikan pesan, suatu bentuk, dan bukan suatu objek atau suatu konsep. Mitos juga merupakan bentuk tuturan, karena itu semua dapat dianggap mitos, asal ditampilkan dalam bentuk wacana. Mitos tidak ditentukan oleh materinya, melainkan oleh pesan yang disampaikan. Mitos tidak selalu bersifat verbal (kata-kata, baik lisan ataupun tulisan), tetapi dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan nonverbal, seperti dalam bentuk film, lukisan, patung, fotografi, iklan, bahkan komik. 

            Barthes memperluas teori tentang tanda yang diusung oleh Saussure. Oleh Barthes, pemaknaan terjadi dalam dua tahap. Tanda (penanda dan petanda) pada tahap pertama menyatu sehingga dapat membentuk penanda pada tahap ke dua. Kemudian pada tahap berikutnya membentuk penanda dan petanda yang telah menyatu ini dapat membentuk petanda baru yang merupakan perluasan makna. Makna tahap pertama disebut denotasi, sedangkan makna tahap kedua disebut konotasi. Walau denotasi dan konotasi bukan istilah baru, Barthes memperlihatkan proses terjadinya kedua istilah tersebut, sehingga menjadi jelas dari mana datangnya perluasan makna.
            Mitos adalah suatu nilai, tidak memerlukan kebenaran sebagai sanksinya. Tak ada yang tetap dalam mitos: konsep ini dapat berubah, dapat dibuat kembali, terurai atau sama sekali hilang. Sehingga tidak ada hubungan yang teratur antara volume konsep dan besar penandanya. Konsep dapat meluas melalui penanda yang besar dan panjang, sebaliknya bentuk yang sangat kecildapat menjadi penada dari konsep yang sangat berkebang. Pada mitos berbahasa verbal (lisan ataupun tulisan), hubungan antarunsur bersifat linear, sedangkan pada mitos visual, hubungan itu bersifat multimensional. 

            Mitos adalah suatu tuturan yang lebih ditentukan oleh maksudnya dari pada bentuknya. Dengan kata lain, mitos adalah “une parole volee et rendue” (suatu tuturan yang telah dicuri, kemudian dikembalikan). Hanya saja ketika dikembalikan tuturan itu tidak sama lagi, tidak seperti ketika dicuri. Pencurian sesaat inilah yang membentuk tuturan mistis tersebut. 

            Kita tahu bahasa bersifat arbitrer. Tak ada yang menghubungkan imaji bunyi dengan konsepnya. Namun, sifat arbitrer ini ada batasnya. Sementera itu, signifikansi dalam mitos tidak bersifat arbitrer, selalu ada bagian yang mengandung motivasi yang biasanya dikemukakan berkat analogi. Sehingga mitos selalu menampilkan analogi bentuk atau makna. 

            Mitos tidak menyembunyikan sesuatu, juga tidak menonjolkannya. Mitos adalah deformasi, suatu pembelokan makna. Dengan menggunakan sistem semiologis pemaknaan dua tahap ini, mitos akan mengubah pengalaman menjadi sesuatu yang alamiah. Dengan demikian, kini dapat dipahami mengapa di mata konsumen mitos, maksud konsep dapat terungkap tanpa tampak mempunyai maksud tertentu.

            Si pembuat mitos adalah orang yang ingin menyebarkan ideologi, si ahli mitos adalah yang menganalisis mitos, dan yang terakhir, si pembaca mitos (dalam hal ini adalah pemirsa mitos) adalah orang yang menerima ideologi yang disebarkan oleh pembuat mitos. Dapat ditambahkan bahwa ada kemungkinan penyebaran ideologi itu berhasil dan ada kemungkinan juga gagal.

            Dengan mempelajari mitos-mitos yang berkembang di suatu masyarakat kita dapat mengetahui bagaimana ideologi-ideologi ditanamkan. Ideologi itu, akan ditampilkan dalam satu bentuk ungkapan budaya, baik dalam bahasa verbal mapun cara berkomunikasi lainnya seperti lukisan, iklan, komik, dan film. Dengan kata lain, lewat teori mitosnya, Barthes membantu kita untuk menemukan ideologi-ideologi tersembunyi itu.

Novi Diah Haryanti

Bibliografi

Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2008. Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa
_____. 2001. “Ideologi dalam Pariwara Televisi” dalam Ida Sundari Husen dan  Rahayu Hidayat (penyunting) Merentas Ranah, Bahasa,Semiotika, dan       Budaya. Yogyakarta: Bentang   






4 comments:

  1. Tulisan yang bagus mbak, dan Alhamdulillah akhirnya bisa ketemu juga sama makna mitor dalam semiotika. Mohon ijin copy beberapa kata untuk refrensi penulisan ilmiah mbak. Trima kasih

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas informasinya Mbak. Saya kebetulan membutuhkannya untuk Thesis saya. David Setiabudi dari www.divinekids.com

    ReplyDelete
  3. Terima kasih. Imformasi yg sangat menarik untuk dikongsi.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...