Novi Diah Haryanti
novi.diah@gmail.com
“Tugas seorang intelektual adalah menulis mengenai masyarakatnya”
(Umar Kayam)
Kalimat tersebut adalah penutup yang diucapkan Umar Kayam (UK) dalam seminar dua hari yang diselenggarakan untuk merayakan pensiunnya UK di Universitas Gadjah Mada pada 1997. Bentuk penghargaan lain terhadap sosok yang kerap disamakan dengan tokoh Semar dalam pewayangan itu, adalah buku bertajuk Umar Kayam dan Jaring Semiotik (UK&JS) yang berisi kumpulan esai mengenai UK yang ditulis oleh berbagai kalangan. Sebut saja, Kuntowijoyo, Ignas Kleden, Goenawan Mohamad, Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, Leila S. Chudori, Toeti Heraty, Renda, dan Faruk yang menulis kata pengatar. Buku yang terbit pada 1998 tersebut, dapat menjadi bahan rujukan untuk mengetahui sosok UK dari berbagai perspektif.
Sebelum Para Priyayi terbit, cerita panjang UK Sri Sumarah dan Bawuk (1975) menjadi karya yang menarik karena menggambarkan bagaimana sikap perempuan Jawa ‘seharusnya’ (apalagi dia seorang priyayi). Membaca Sri Sumarah bagi saya adalah membaca wanita, wani di tata (berani diatur) bahkan lebih ekstrim lagi wanita, wani tapa (berani menderita). Lewat tokoh Sri Sumarah terlihat bagaimana konstruksi perempuan Jawa ‘seharusnya’ bersikap. Namun, lewat tokoh Tun, kita juga dapat membaca perubahan zaman yang ditunjukan oleh tingkah laku anak semata wayang Sri Sumarah yang melenceng dari tata perempuan Jawa.
Sastra adalah gambaran dalam masyararat. Sebagai sebuah gambaran, teks sastra menampilkan fakta-fakat yang ada dalam masyarakat. Hal itulah yang membuat teks sastra kerap menjadi bahan penelitian, tidak hanya oleh sarjana sastra tapi juga digunakan oleh mereka yang mengeluti bidang sejarah, sosiologi, antrologi, dan psikologi.