Wednesday, June 22, 2011

Pergulatan Budaya Student Hidjo

 “Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang meredahkan kita bisa mengerti bahwa manusia sama saja”
            
            Sejak awal kedatangannya, Barat tidak hanya menanamkan wacana tentang superioritasnya tapi juga melanggengkannya lewat pendidikan.  Dengan atau tanpa kita sadar bangsa Barat telah berhasil menanamkan pemahaman bahwa sebagai bangsa Timur, bangsa Dunia Ketiga, kita lemah, inferior, lebih menggunakan perasaan, percaya pada takhyul, dengan konsekuensi logis mengakui superioritas Barat.
            Manneke Budiman menjelaskan konsep pascakolonial sebagai kajian tetang bagaimana sastra mengungkapkan ‘jejak-jejak” kolonialisme dalam konfrontasi “ras-ras, bangsa-bangsa, dan kebudayan-kebudayaan” yang terjadi dalam lingkup “hubungan tidak setara” sebagai dampak dari kolonisasi Eropa atas bangsa-bangsa di ‘dunia ketiga’.[1]
             Sebagai strategi membaca karya sastra, pascakolonial menurut Bhabha akan menghasilkan penafsiran yang beda. Maka, salah satu tujuan pascakolonial adalah re- writing dan re-reading terhadap teks yang sudah ada. Tidak hanya itu pascakolonial diartikan sebagai upaya untuk menyingkap dan membongkar (dekonstruksi) kekuasaan kolonialisme yang teraktualisasi dalam wacana sastra pascakolonial. 
            Novel Student Hidjo karangan Marco Kartodikromo merupakan salah satu novel yang ditulis pada akhir abad XX, masa yang dalam sejarah resmi disebut sebagai kebangkitan nasional. Sebagai produk yang lahir dimasa kolonial, Student Hidjo merepresentasikan ketimpangan Barat dan Timur yang terlihat dari figur tokoh-tokohnya. Novel ini menggambarkan kehidupan priyayi Jawa dengan kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, salah satunya pendidikan. Suasana pergerakan, terutama Sarekat Islam, tempat para tokoh novel mencurahkan sebagian waktu dan kegiatan, menjadikan novel ini kental dengan suasana politik.
            Cerita dimulai dengan keinginan orang tua Hidjo menyekolahkannya ke Belanda untuk mengangkat derajat keluarga. Demi keinginan sang ayah, Hidjo pergi ke Belanda meninggalkan keluarga dan tunangannya Biro. Dengan keyakinan kuat bahwa ia tak akan terpengaruh dengan budaya Barat karena sangat memegang teguh budaya Timur, Hidjo berjuang untuk tetap pada identitasnya sebagai bangsa Hindia. Tetapi dikarenakan benturan budaya yang terus menerus dialaminya, ia menjadi goyah tergoda dengan perempuan Belanda bertubuh seksi. Sejak saat itu ia mengalami disorientasi dan meninggalkan budaya Timur yang selama ini dipujanya.     
            Hubungan terjajah dan penjajah yang terjadi di tanah jajahan menimbulkan relasi kuasa yang tak dapat dihindarkan. Relasi yang dimaksud bersifat hierakis, dominatif dan menindas. Hal inilah yang kemudian terlihat dalam karya Marco, salah satu pengarang yang paling produktif melahirkan bacaan liar.
Waktu ini, orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement. Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani. maksud saya mengirimkan Hidjo ke Belanda, tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja sama (SH: 3)  
     
Student Hidjo

            Bagi Raden Potronojo, keinginan untuk dipandang sederajat dan tidak dilecehkan oleh gouvermenemnt, menguatkan niatnya untuk menyekolahkan anak semata wayangnya, Hidjo ke negeri Belanda. Sebagai salah satu lulusan HBS, Hidjo memang memiliki kemampuan yang cukup “briliant” bahkan melebihi anak regent pada umumnya. Tak heran jika Hidjo kemudian disukai oleh banyak orang, diantaranya keluarga Regent Djarak yang kedua anaknya RM. Wardojo dan Woengoe merupakan orang-orang terdekat Hidjo. 
Pendidikan (educatie), sebagai salah satu dari dua program politik etis lainnya, “irigatie dan emigratie”, melahirkan golongan baru dimasyarakat, golongan terpelajar atau golongan perantara yang berpikiran ala Eropa. Walau demikian tak ada perubahan di mata kebanyakan orang Belanda. Bagi mereka pribumi tetaplah bodoh.  
Tadi Anna Berkata bahwa Tuan orang Jawa dan bodoh... Ya, saya bodoh, jawab Hidjo sambil seperempat tertawa seperti biasanya. Ya, memang, meski Tuan kandidat insinyur, tetapi Tuan orang bodoh, kata Anna untuk mengguncangkan hati Hidjo,Orang Jawa bodoh, cis! (SH:31)

            Sebagai salah satu produk politik etis, secara tak sadar Marco terperangkap dalam problem pertama masyarakat terjajah yaitu peningkatan martabat diri agar setara dengan bangsa penjajah. Keresahan Marco itu terlihat pada sosok Hidjo pribumi yang hijrah ke Belanda dan berusaha menyetaran diri dengan orang-orang Belanda di sekelilingnya. Salah satu jalan yang ditempuh Hidjo, agar dianggap sebagai bagian masyarakat dan kebudayaan yang bermatabat, Hidjo merasa perlu untuk mengikuti atau meniru arus wacana kolonial Barat yang mengglobal. Peniruan yang dalam konsep Bhabha dikenal dengan Mimikri. Hidjo adalah mimic man atau colonial subjec yang beresistensi dan bernegosiasi dengan budaya Barat yang menjadi simbol peradaban dunia.   
            Persentuhannya dengan dunia pendidikan Barat dan interaksi langsung dengan orang “Londo”, membuat Hidjo belajar bersikap layak orang Eropa. Cara berjalan, cara makan, berpakaian, berbicara dengan bahasa Belanda dan bergaya hidup ala Eropa lainnya, membuat Hidjo merasa lebih beradab di tengah teman Belandanya.
Kalau mengikuti adat Eropa, jika ada seorang lelaki berjalan bersama-sama dua orang perempuan, yang lelaki meski berjalan di tengah dan kanan-kirinya diapit perempuan. (SH: 4)     
Lantaran tamu itu membicarakan masalah makan, nyonya rumah terpaksa bertanya kepada Hidjo untuk humor. “Apa Tuan suka makan cara Belanda?”.
“Suka!” (SH: 48-49)
Sekarang Hidjo berada di kalangan dua gadis bangsa Eropa, sudah barang tentu Hidjo harus memakai adat Eropa yang telah beberapa tahun ia jalankan di sekolah HBS di Tanah Jawa. (SH: 52)
           
            Tidak hanya Hidjo, RM Wardojo, Biroe, Woengoe merupakan penggambaran ideal pribumi di masa kolonial. Hidup sebagai golongan priyayi mereka adalah sosok terpelajar, cerdas, santun, cantik/tampan dan revolusioner. Keikutsertaan RM Wardojo, Biroe dan Woengoe dalam acara vergadering Sarekat Islam (SI), memperlihatkan novel ini kental dengan suasana politik.
            Marco merupakan anggota kaum muda yang diciptakan oleh pendidikan gaya Barat dan dipertahankan karena aktivitas negara dan bisnis swasta Belanda. Dari segi pendidikan, ia masih di bawah pemimpin pergerakan di masa awal seperti Tirtoadhisoerjo, Tjokroaminoto dan Soewardi. Walau dapat membaca bahasa Belanda, tapi kemapuan menulis dan berbicaranya tidak terlalu baik. Dia tidak pernah bisa bebas bergaul dengan orang Belanda dan semua tulisannya kalau tidak dalam bahasa Melayu pasti dalam bahasa Jawa. Padahal segala sesuatu yang berbau Belanda atau Eropa saat itu merupakan lambang kemajuan, dan Marco pada hakikatnya kurang maju dibandingkan pemimpin pergerakan seperti Tjokroaminoto dan Soewardi. Mungkin “kekalahan” inilah yang membuatnya begitu tergila-gila dengan simbol modernitas dan tampil di depan umum dalam gaya Eropa seperti sinyo, sementara Tjokroaminoto dan Soewardi tetap dalam baju Jawa.[2]
            Hal ini pula yang terlihat dalam novel Student Hidjo, meski demikian hal tersebut tidak mengurangi ketajamannya dalam melihat permasalahan antara bangsa Belanda sebagai Penjajah dan Hindia (Indonesia) sebagai terjajah. Terbukti dengan kritikan tajam yang dilakukan Controleur dan dimasukkannya sebuah selebaran berbahasa Melayu berjudul “Bangsa Belanda di Hindia” yang mengirik habis bangsa Belanda. Pun satu pikiran Hidjo yang melintas di otaknya saat tiba di tanah Belanda.
Kalau di Negeri Belanda, dan ternyata orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia musti diperintah oleh orang Belanda. (SH: 46)  


Novi Diah Haryanti

Tulisan lama (2007) yang pernah saya posting di blog sebelumnya http://burunghantupunya.multiply.com/journal/item/4 yang sekarang sudah tidak pernah disinggahi (Ngurus satu rumah saja malas apa lagi 2)




[1]  Manneke Budiman, Clearing a Space; Kritik Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Moderrn, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006 ), hlm.xi 

[2] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm.110 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...