Friday, August 26, 2011

Nilai-nilai Keislaman dalam Karya Sastra Forum Lingkar Pena (FLP Bag.3)


            Sebagai organisasi yang berazaskan Islam, FLP menekankan kegiatan menulis sebagai bagian dakwah dan pencerahan kepada anggotanya. Dakwah berasal dari bahasa Arab dakwah dan kata dâ’a, yad’u yang berarti panggilan, ajakan, seruan (Aziz, 2004: 2). Berdasarkan etimologi tersebut, Aziz, mengungkapkan setidaknya ada tiga pengertian dakwah.
                 1) Proses penyampaian agama islam dari seseorang kepada orang lain, 2) penyampaian ajaran Islam tersebut dapat berupa   amr ma’ruf (ajaran kepada kebaikan) dan nahi mun’kar (mencegah kemungkran), 3) usaha    tersebut dilakukan secara sadar dengan tujuan terbentuknya suatu individu atau masyatrakat yang taat dan mengamalkan sepenuhnya ajaran Islam.  (2004: 10)
            Berdakwah adalah kewajiban seluruh umat muslim dan bersifat universal itulah mengapa tugas dakwah tidak hanya dibebankan kepada ulama atau cendikiawan muslim. Ada tiga metode yang dapat dilakukan untuk dakwah. Pertama, dakwah Qoliyah berbentuk ucapan seperti, ceramah, diskus, tanya jawab. Kedua, dakwah Kitabiyah, yaitu penyampaian dakwah melalui tulisan seperti, melalui media masa, buku-buku, kitab agama, gambar, lukisan. Ketiga, dakwah alamiyah, penyampaian dakwah dengan tidak menggunakan kata-kata lisan maupun tulisan tetapi dengan tindakan nyata (2004: 155-156). Sifat universalitas dakwah itu yang ditangkap oleh FLP dan diterapkan dalam karya-karyanya.   
            Salah satu dasar pemikiran dakwah adalah hadis, “ballighu annii walau ayatan”, artinya sampaikanlah apa yang kalian dapat dari aku (Muhammad) walau cuma satu ayat (Budiwanti, 2000: 6). Dengan metode penyampaian dakwah lewat tulisan (kitabiyah), para anggota FLP menulis karya-karya Islami yang melahirkan tren sastra islami di tahun 2000-an.     
            Karya-karya yang digolongkan zaman Islam adalah karya-karya yang secara jelas memperlihatkan pengaruh atau alam pemikiran Islam. Karya-karya tersebut dibagi menjadi dua: pertama adalah karya yang bersifat sufistik yang ditulis para ulama yang mendalami pengetahuan tentang Islam dan mempunyai kencenderungan terhadap sufisme. Kedua adalah karya yang memperlihatkan pengaruh sastra Islam baik dari bahasa Arab maupun Persia atau karya ciptaan baru yang memperlihatkan pengaruh agama/peradaban Islam terhadap penulisnya (Rosidi, 1995:337-338). Dengan menekankan pada diri sastrawan sebagai pencipta karya sastra, Hasjmy mengungkapkan ciri khas sastrawan muslim sebagai berikut.
     1) hati dan jiwannya penuh dengan keimanan, 2) kerjannya senantiasa beramal salih, berbuat bakti,3) pancaran iman menjelma dalam amal perbuatannya, 4) mereka selalu mengenang Allah, sehingga berujud dalam karya-karyanya (1977: 62-63).

Nilai-Nilai Keislaman dalam Forum Lingkar Pena (Bag.2)


Nilai-nilai Keislaman dalam Forum Lingkar Pena
            Komunitas sastra Indonesia ada sejak awal tahun 1970 ketika Persada Studi Klub (PSK) pimpinan Umbu Landu Paranggi memulai proses kreatifnya di kawasan Malioboro. Hanya saja, istilah komunitas sastra baru popoler sejak Komunitas Sastra Indonesia (KSI) lahir pada 1996 (Herfanda, 2008).
            Herfanda mengungkapkan, komunitas-komunitas yang lahir pada tahun 90-an seperti KSI dan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), menjadi gerakan ‘sastra perlawanan’ terhadap hegemoni pusat-pusat di Jakarta. Hal ini membuat komunitas-komunitas tersebut kurang memberikan pembinaan terhadap kualitas karya para anggotanya. Tak heran jika RSP lebih dulu bubar tanpa melahirkan karya besar, sedang KSI menjadi komunitas yang cukup popular karena para penulis ‘sudah jadi’ yang bergabung menjadi anggotanya.[1] Namun, tidak semua komunitas muncul untuk melawan hegemoni pusat tersebut. Salah satunya adalah Forum Lingkar Pena yang sejak awal bertujuan untuk membina dan meningkatkan kualitas menulis para anggotanya.
Forum Lingkar Pena (FLP), lahir dari kegiatan kumpul-kumpul yang kerap dilakukan di masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Bukan sekadar kumpul, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Muthmainnah, dan beberapa kawan lainnya kerap melakukan sharing seputar kegiatan tulis menulis. Banyaknya anak muda yang ingin berkiprah di bidang kepenulisan serta minimnya pembinaan terhadap peningkatan kualitas tulisan dan wadah sebagai penampung kreativitas, menjadi latar belakang proses terbentuknya FLP.
Kehadiran FLP, menjadi alternatif bagi siapapun yang ingin mengasah kemampuan menulisnya. Hal tersebut terlihat dari beragamnya profesi para anggota FLP, mulai dari siswa, mahasiswa, ibu rumah tangga, pekerja kantoran (swasta), PNS, sampai para TKW.[2]  Asas kebersamaan, ketulusan, dan egaliter, menimbulkan rasa persaudaraan antara anggota FLP. Salah satunya terlihat dari anotologi-antologi[3] yang kerap diterbitkan untuk menggalang dana. 
Selain lewat pertemuan rutin, untuk mempercepat proses belajar para anggotanya, pengurus FLP juga menyusun materi ajar (modul), yang digunakan sebagai pegangan dan panduan (arahan) dalam menulis. Terakhir, pembinaan kemampuan menulis anggota FLP dilakukan melalui penerbitan karya-karyanya.
            Salah satu cara untuk melihat Islam sebagai roh dalam berorganisasi dengan mengupas modul FLP. Modul FLP merupakan salah satu bagian pembinaan (kaderisasi) yang bertujuan memberi panduan atau arahan bagi para anggotanya. Saat ini, FLP pusat telah memiliki modul penulisan fiksi dan modul organisasi. Modul penulisan fiksi yang dibuat, baru tahap awal.[4] Namun, beberapa wilayah/cabang/ranting FLP telah memiliki modul yang disusun sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, diantaranya FLP Jakarta.

Wednesday, August 24, 2011

Nilai-Nilai Keislaman dalam Forum Lingkar Pena (Bag.1)

oleh Novi Diah Haryanti
Abstrak
             Forum Lingkar Pena (FLP) adalah organisasi kepenulisan berbasis Islam yang berdiri pada 22 Februari 1997. Saat ini, FLP merupakan organisasi penulis muda terbesar yang anggotanya mencapai 7000 orang dan menghasilkan lebih dari 600 judul buku. Penelitian ini bertujuan untuk melihat nilai-nilai keislaman yang terdapat dalam FLP dan karya-karya yang dihasilkannya. Hal tersebut, dilakukan dengan menganalisis modul dan karya FLP, serta melakukan wawancara terhadap para tokoh FLP.
            Nilai-nilai keislaman FLP terlihat dari isi Materi Kelompok Pramuda Forum Lingkar Pena Jakarta, yang memuat pengetahuan dasar tentang Forum Lingkar Pena (KE-FLP-AN), wawasan keislaman, dan kepenulisan. Modul  tersebut berperan mengarahkan tulisan anggotanya, sehingga karya-karya dihasilkan, diharapkan dapat menjadi media dakwah yang memberi pencerahan bagi pembacanya. Sebagai komunitas, FLP merupakan akselerasi bagi para penulis muda. Karya-karya yang dihasilkan FLP pun dapat menjadi alternatif bacaan bagi para pembaca khususnya pembaca muslim.

Tuesday, August 23, 2011

Pendekatan Struktural

Strukturalis pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang  berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena uang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain.[1]
Struktur berasal dari kata stuctura, bahasa latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubugannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, dipihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalistasnya.[2]  Sebagai kualitas totalitas, antar-hubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan makna-makna baru. [3]
Strukturalisme adalah suatu pendekatan terhadap teks dan praktik teks yang berasal dari kerangka teoritis seorang pakar linguistik Swiss, Ferdinand de Saussure. Strukturalisme mengambil dua ide dasar Saussure. Pertama, perhatian pada hubungan yang mendukung teks dan praktik budaya, “tata bahasa” yang memungkinkan makna. Kedua, pandangan bahwa makna selalu merupakan hasil dari hubungan seleksi dan kombinasi yang dimungkinkan terjadi di dalam struktur yang mendukungnya.[4]
Menurut Jean Peaget strukturalisme mengandung tiga hal pokok:

Wednesday, August 17, 2011

Anticolonialism ideas of the female characters in three Mas Marco Kartodikromo’s Works: A Postcolonial Analysis

: Novi Diah Haryanti

This analysis aims to show anticolonialism ideas of the female characters in Student Hidjo, Matahariah, and Rasa Merdika. Qualitative descriptive method and orientalism and hibridity theories are used to see how these female characters represent their anticolonialism ideas as a form of Marco’s disapproval. From the result of the analysis, it is shown that Marco presents on purpose the female characters who are independent, intelligent, active, brave in stating their opinions and appear on public, and together with men fight against various forms of colonialism. The connection to the west culture makes these women become hibrid people, move freely in the third space that is ambivalent. Hibridity strategy that is the most obviously done by these characters is mimicry. European women that look so javanese or the javanese women that try to be european. In other words, both try to be “almost the same but not quite’.   

Key Words: Marco, Anticolonial, Hibridity, Mimicry, West-East

Ide Antikolonialisme Tokoh-tokoh Perempuan dalam Tiga Karya Mas Marco Kartodikromo: Suatu Tinjauan Pascakolonial


ABSTRAK 
oleh Novi Diah Haryanti


Penelitian ini bertujuan memperlihatkan ide antikolonialisme tokoh-tokoh perempuan dalam Student Hidjo, Matahariah, dan Rasa Mardika. Metode deskriptif kualitatif dengan teori orientalisme dan hibriditas digunakan untuk melihat bagaimana tokoh-tokoh perempuan tersebut merepresentasikan ide antikoloniliasme sebagai bentuk perlawanan Marco. Dari hasil analisis tampak bahwa Marco dengan sengaja menampilkan tokoh-tokoh perempuan mandiri, pintar, aktif, berani bersuara dan tampil di depan umum, serta bersama-sama kaum laki-laki melakukan perjuangan melawan berbagai bentuk penindasan. Persinggungannya dengan budaya Barat, membuat tokoh-tokoh perempuan dalam karya Marco menjadi pribadi yang hibrid, bergerak bebas pada ruang ketiga yang serba ambivalen. Strategi  hibriditas yang paling tampak adalah mimikri yang dilakukan para tokohnya. Perempuan Eropa yang tampak sangat Jawa atau perempuan Jawa yang berusaha menjadi Eropa. Dengan kata lain keduanya berusaha untuk menjadi serupa tapi tidak sama.

Kata kunci: Marco, Antikolonial, Hibriditas, Mimikri, Barat-Timur

Friday, August 12, 2011

KepadaNya


Jika semua ada masaNya
Maka kasih dariMu ialah segalaNya

Jika sudah habis masaNya
Maka hanya padaMu kukembalikan semua

Tiada yang luput, segalaNya
hanyalah milikMu semata.

Tuesday, August 2, 2011

NEW HISTORICISM DALAM PERKEMBANGAN KRITIK SASTRA

oleh Novi Diah Haryanti

Judul     : New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra
Penulis  : Melani Budianta
Terbit   : Jurnal Susastra, Vol. 2 no 3 tahun 2006 

Tulisan Melani Budianta dalam jurnal Susastra, Vol. 2 no 3 tahun 2006 mencoba melihat kontribusi New Historicism (NH) dalam sejarah kritik sastra di Barat dan apa yang ditawarkannya bagi kritik sastra Indonesia. Ada tiga pertanyaan yang coba dijawabnya dalam tulisan terkait kritik yang berkembang dalam dua dekade terakhir abad ke-20, 1) pembaharuan apa yang disumbangkan NH? Apakah NH menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru bagi kajian sastra di Indonesia? Dan apa keterbatasananya? Dengan kata lain ontologis atau “barang apa” yang diteliti dalam paper Melani Budianta adalah New Histocism  
Budianta memulai tulisannya dengan subjudul “Yang Baru dalam NH”. Sesuai dengan subjudul yang dipilihnya, penelurusan mengenai kapan dan oleh siapa istilah NH pertama dipakai terjawab dalam paragraf pertama. Istilah NH pertama kali digunakan Stephen Greenblattt pada 1982 yang mencoba melihat keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya. Ia mendobrak kecendrungan kajian tekstual yang ahistoris, otonom, dan dipisahkan dari aspek yang berada di luar karya. Tidak hanya menggugat formalisme, menurut Greenblatttt karya sastra ikut membangun, mereproduksi konvensi, norma, dan nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasinya.  Revisi NH terhadap pendekatan formalis maupun sejarah disimpulkan oleh Louis A. Montrose dengan istilah “kesejarahan sastra dan kesastraan sejarah” yang berarti membaca sastra = membaca sejarah dan membaca sejarah = membaca sastra.

Monday, August 1, 2011

Love in a Time of Colonialism: Race and Romance in an Early Indonesian Novel

 Oleh Novi Diah Haryanti

Tulisan Paul Tickell dalam buku Clearing a Space: Postcolonial Readings  of modern Indonesian Literature memperlihatkan bagaimana wacana-wacana disipliner (ras dan Seksualitas) sangat menentukan pembentukan identitas-indetitas Barat Modern yang terkait dengan upaya mempertahankan dominasi bangsa Barat terhadap non-Barat.

Pertemuan antara penjajah dan terjajah, membentuk identitas–identitas hibrida yang menurut Homi Bhabha yang selalu menampilkan ambivalensi dalam wacana kolonial. Atau menurut Bhabha terjadi mimikri kolonial yaitu keinginan akan suatu Other yang telah di reformasi dan yang bisa dikenali sebagai subjek perbedaan yang nyaris sama tetapi tidak begitu sama.

Politik putih kolonial Belanda yang bertujuan menciptakan “Other”, yang satu kaki tertancap di Eropa dan kaki lainnya tertancap di dunia pribumi, ternyata tidak selalu dapat dikendalikan oleh penguasa kolonial. Beberapa dari Others tersebut menjadi susah diatur yang memilah-milah suber linguistik, kultural, dan historis baik dari tradisi Barat maupun pribumi, sehingga seringkali tidak selaras dengan kepentingan kekuatan-kekuatan penjajah maupun elite tradisional.

Mengenal Kelas Kata (bagian ke-2)

Pada bagian ke-2 mengenal kelas kata, saya akan menjelaskan dengan singkat mengenai numeralia, pronomina, preposisi, dan konjungtor.

PRONOMINA (KATA GANTI)
  • Tiga macam pronomina:
  1. Pronomina persona, yaitu pronomina yang dipakai untuk mengacu kepada orang (pertama, kedua, dan ketiga). Penggunaan pronomina persona (kata ganti orang) disesuaikan dengan umur, status sosial, keakraban. 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...