Pada pengantar makalah Sastra dan Interaksi Lintas Budaya, Melani Budianta menekankan bahwa tujuan dari pembahasan makalahnya adalah menunjukan pentingnya peran sastra dalam pemahaman lintas budaya. Hal ini terjadi dikarenakan, interaksi global tidak dapat dipisahkan dengan yang bersifat lokal. Bahkan menurut Melani dapat dikatakan bahwa pertautan lintas budaya dalam interaksi global-regional-nasional-lokal menjadi semakin kompleks. Untuk melihat posisi sastra dalam interaksi lintas budaya itu, Melani mencoba mengupas beberapa karya yang sarat akan pengalaman Lokal-Nasional-Regional-Global. Hal tersebut dilakukan karena sastra merupakan suatu praktis budaya, sosial, bahkan politik yang tidak hanya membentuk, tapi juga ikut bermain dalam lintas budaya tersebut.
Menurut Melani, salah satu cerpen yang mengusik hubungan keuasaan diberbagai tingkatan adalah cerpen Azmi R Fatwa, Karena Generasi Kakek. Lewat cerpennya, Azmi mencoba menggambarkan bagaimana masyarakat desa Tajul mengubah posisi mereka menjadi warga dunia dengan menggunakan bahasa Inggris dalam setiap komunikasinya. Dengan nada sedih dipersolkan peran bangsa sebagai penguasa yang mengeruk kekayaan lokal kepada pihak asing. Di satu sisi, cerpen ini membalikan posisi keterpinggiran dengan bergabung ke tataran global melalui bahasa asing. Cerpen Azmi berbeda dengan kelaziman untuk memakai bahasa Inggris sebagai simbol pengaruh Barat yang mengancam indentitas nasional. Lewat cerpen ini, kita melihat pertautan bahwa yang asing, nasional, maupun lokal dapat saling bertaut tanpa batas yang jelas.
Dalam kumpulan Riau Satu maupun karya lain yang memposisikan diri sebagai marginal atau gugatan terhadap kekuatan pusat, maka nada kecewa, gusar, risau, menjadi warna dominan. Karya sastra mewakili daerah yang membangun kesadaran akan kebersamaan dalam kondisi apapun di wilayah budaya yang sama. Pembentukan suatu entitas kelompok seperti itu memerlukan upaya untuk terus membayangkan dan mengukuhkan eksistensinya, termasuk ciri budaya, tradisi, mitos, dan ritualnya.
Identitas sebagai suatu komunitas dikukuhkan dengan menentukan siapa yang berhak memilikinya. Konsep asli, pendatang, orang asing, secara hirakis menunjukan hak kepemilikikan terhadap suatu komunitas, baik dalam tataran lokal maupun nasional. Sastra selain dapat berfungsi untuk mengukuhkan kecenderungan yang dominan, dapat pula secara steorotip mempertanyakan konstruksi sosial yang telah ada. Hal ini terlihat, jika pada masa orde baru kata-kata komunis, kiri mampu membangkitkan konotasi yang menakutkan. Sesudah masa kejatuhannya, sastrawan dan sejarahwan dapat melihatnya dengan perspektif yang beda. Hal ini dapat dilihat lewat karya Putu Oka Sukanta, Merajut Harkat karya karya Martin Aleida, Layang-layang itu Tak Lagi Mengepak Tingg-tinggi, dan juga dalam karya Ayu Utami berjudul Larung.
Tidak hanya lahir dan mendobrak stereotip, banyak pula karya yang lahir dengan memberika tema solidaritas dan empati. Salah satunya, karya Usma Awang bejudul Anak Jiran Tionghua . Lepas dari bias subjektif yang mau tak mau mewarnai pengarang, tapi sastra memilik potensi sangat besar sebagai medium imajinasi untuk memahami lintas budaya. Salah satu karya yang dimiliki Indonesia adalah kisah Si Doel Anak Jakarta yang ditulis ole Aman Datuk Majoindo. Contoh karya lintas budaya lain yang dapat dikaji secara sosiologis adalah Namaku Teweraut, karya Ani Sekarngningsih, perempuan Jawa yang lama tinggal di Irian.
Selain berpotensi memasuki perspektif orang lain, karya sastra juga mampu membuat terobosan dalam berpikir dan memandang permasalahan lintas budaya. Misalnya saja, kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran tempat usaha yang terjadi pada 1998, banyak diangkat menjadi sumber pembicaraan dan tulisan. Salah satunya adalah sejumlah cerpen dalam antologi Cerpen Mini Inhoa melihat persoalan dengan kacamata santai,kreatif, dan penuh humor. Pada akhirnya, karya sastra mempunyai fungsi untuk membuka mata pada kompleksitas persoalan dan menyadarkan diri untuk tidak terlalu cepat menghakimi. Peran karya sastra dalam intraksi sosial tidak dapat dipisahkan dari kondisi penciptaan yang melingkupinya dan kebijakan budaya yang berlaku.
Novi Diah Haryanti
No comments:
Post a Comment