Pers pada tahun duapuluhan, yaitu masa pergerakan nasional mencapai gelombang pasang yang pertama. Mereka telah memuat cerita bersambung dan cerita pendek yang mencerminkan penderitaan dan perjuangan rakyat untuk sesuap nasi (Siregar,1964). Oleh karena itu, perkembangan pers sejalan dengan perkembangan dunia sastra di Hindia. Beberapa tokoh pergerakan pun turut ambil bagian pada awal abad XX, Tirto, Semaoen, Marco merupakan nama-nama yang kerap kali menulis dengan tajam kritikan kepada penguasa Belanda saat itu. Tidak heran jika mereka sering kali keluar masuk bui bahkan ‘dibuang’.
Sastra dapat dianggap sebagai perkembangan masyarakat dan kebudayaan, dengan konsekuensi perkembangan dalam sastra harus dilihat dalam kaitan dengan fungsi lain dalam masyarakat dan kebudayaan, seperti ekonomi, susunan dan bangunan kelas sosial, pembentukan kekuasaan dan distribusi kekuasaan dalam satu sistem politik (Kleden, 2004). Perkembangan sastra Melayu di awal abad XX sejalan dengan perkembangan pers yang pada saat itu banyak menggunakan bahasa Melayu pasar sebagai medium penyampai gagasan. Bahasa Melayu pasar digunakan karena bahasa tersebut adalah bahasa para pedagang dan kaum buruh yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah gaya Barat dengan pelajaran bahasa Melayu yang baik. Selain itu, bacaan yang ditulis dalam bahasa Melayu pasar menggunakan bahasa sehari-hari yang terasa lebih spontan dan kadang-kadang lebih “hidup”, serta lebih bebas dari ikatan tata bahasa.
Penulisan Roman modern pada mulanya sangat terpengaruh oleh penulis-penulis Belanda (Retnanningsih, 1983). Surat kabar yang pertama kali memuat cerita bersambung berbentuk roman adalah Medan Prijaji. Roman yang pertama diterbitkan adalah Hikajat Siti Mariah yang dikarang oleh H. Mukti. Roman ini menurut pengarangnya disebut “hikayat”, tetapi melukiskan kehidupan sehari-hari pada zaman pengarangnya, lalu ditulis dalam bahasa melayu (Rosidi, 1986). Lebih lanjut, Rosidi mengungkapkan Tirto Adhi Suryo dapat pula disebut sebagai perintis fiksi moderen. Karya-karyanya antara lain: Doenia Pertjintaan 101 Tjerita Jang Soenggoe Terjadi di Tanah Priangan (1906), Tritja Nyai Ratna (1909), Membeli Bini Orang (1909), Busono (1912).
Pengarang lain yang terbilang produktif adalah Mas Marco Kartodikromo. Karya-karyanya adalah Mata Gelap (1914), Student Hidjo (1918), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Mardika (1924). Akibat tulisannya Marco empat kali dijatuhi hukuman oleh pemerintah kolonial. Selain Marco, Semoen juga menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1920) yang dilarang beredar oleh pemerintah.
Bacaan-bacaan yang dihasilkan oleh Tirto, Marco, dan Semaoen dapat dikategorikan sebagai “bacaan politik”. Hampir semua bacaan yang diproduksi oleh para pemimpin pergerakan baik novel, roman, maupun cerita bersambung, isinya menampilkan kekritisan dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Sifat dan isi karangan tersebut banyak menghasut rakyat untuk berontak, sehingga karya tersebut dilabeli “bacaan liar” oleh pemerintah kolonial dan penulisnya disebut “pengarang liar”. Selain itu, pemerintah memberi label bacaan liar karena corak realisme sosialis yang terdapat dalam karya dan ditulis oleh pengarang yang mempunyai kecenderungan ideologi sosialis dan komunis (Yulianeta, 2008)
Ketakutan pemerintah kolonial bahwa pengarang akan mensosialisasikan ideologinya, membuat pemerintah berusaha membendung dan menyetop peredaran bacaan liar dengan membentuk Komisi Bacaan Rakyat (Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) pada 1908 dan pada 1917 diubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) atau Balai Pustaka. Pekerjaan komisi ini mula-mula memeriksa dan mencetak segala naskah dan cerita yang ditulis dalam bahasa daerah. Balai Pustaka kemudian juga mencetak buku-buku terjemahan dari cerita yang mengisahkan pahlawan orang Belanda dan cerita klasik eropa. Hingga pada 1920 terbitlah roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis karangan Merari Siregar. Sejak itu banyak roman dalam bahasa daerah dan Melayu yang diterbitkan Balai Pustaka (Rosidi, 1986).
Selain menerbitkan buku, Balai Pustaka juga mengadakan taman-taman perpustakaan di tiap-tiap sekolah dasar. Selanjutnya diterbitkannya majalah Sri Pustaka (1919), dalam bahasa Melayu, majalah Panji Pustaka (1923) juga dalam bahasa Melayu, majalah Kedjawen dalam bahasa Jawa, serta majalah Parahiangan dalam bahasa Sunda. Dengan demikian Balai Pustaka adalah penerbit, pencetak, dan menjual buku serta majalah yang secara sistematis menggiatkan penyebarannya ke sekolah sampai desa-desa terpencil untuk mengimbangi bacaan antikolonial (Siregar, 1964).
Karena istilah bacaan liar datang dari pemerintah kolonial Belanda– dalam hal ini Balai Pustaka – maka kriteria Balai Pustakalah yang dijadikan dasar dalam menentukan sebuah novel termasuk kategori bacaan liar atau bukan. Menurut Yulianeta (2008) setidaknya ada lima kriteria yang membuat sebuah novel dianggap sebagai bacaan liar, yaitu 1) memuat gagasan politik tertentu yang bertentangan dengan pandangan politik pemerintah yang berkuasa, 2) berisi penghinaan terhadap golongan agama tertentu, 3) memuat adegan yang melanggar nilai-nilai kesusilaan, 4) berisi penghinaan terhadap golongan bangsa tertentu, dan 5) menggunakan bahasa yang bukan bahasa Melayu Tinggi.
Jika dilihat dari kelima kriteria tersebut, maka jelaslah mengapa karya-karya Marco –khususnya Student Hidjo dan Rasa Merdika –dianggap sebagai bacaan liar. Dari lima kriteria tersebut setidaknya ada tiga kriteria yang terdapat dalam Student Hidjo dan Rasa Merdika. Pertama, karya tersebut bertentangan dengan padangan politik pemerintah dan mencoba menggugat sistem yang telah dibentuk oleh pemerintah kolonial. Kedua, karya tersebut berisi penghinaan terhadap golongan bangsa tertentu, yaitu bangsa penjajah (kolonial) yang menurut Marco menindas, menyengsarakan, dan memiskinkan rakyat Hindia. Ketiga, walaupun Marco termasuk golongan terpelajar, keterlibatannya dalam dunia pergerakan dan jurnalistik, membuat ia kerap menulis dalam bahasa Melayu Rendah agar dibaca oleh khalayak luas. Sedangkan dua kriteria lainnya tidak terlalu tampak dalam novel Student Hidjo dan Rasa Merdika.[i]
Baik Student Hidjo ataupun Rasa Merdika adalah gugatan Marco terhadap kolonialisme dan kapitalisme. Label bacaan liar diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan maksud menimbulkan kesan negatif terhadap kedua novel tersebut. Namun pelabelan itu tidak lantas menyurutkan Marco untuk menuliskan tentang kebenaran yang diyakininya. Label bacaan liar juga tidak membuatnya mengubah haluan keberpihakannya pada pemerintah agar karya-karyanya diterima. Ia terus saja berteriak, protes, dan melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh perintah kolonial dalam karya-karyanya. Baginya, manusia adalah sama, berhak hidup layak, bebas, merdeka, dan dihargai sebagai manusia. Imperialisme dan kapitalismelah yang membuat suatu bangsa terpuruk, miskin, dan bodoh. Bukan hasil pemberian Tuhan ataupun karena bangsa Hindia sendiri yang malas. Protes kerasnya itulah yang membuat karya-karya Marco diberi label bacaan liar hingga ia terpinggikan dan membuatnya kerap keluar masuk tahanan.
Novi Diah Haryanti
novi.diah@gmai.com
[i] Baik Student Hidjo (SH) ataupun Rasa Merdika (RM) tidak memasukan agama secara intens ke dalam karya. Memang dalam Rasa Merdika sempat hadir tokoh bernama Mohamad Abdulgani, yang beragama Islam. Namun kehadirannya bukan untuk membicarakan atau menyinggung agama tertentu, melainkan sebagai sindiran bagi pembaca karena ia percaya kemiskinan yang dialaminya bukanlah akibat dari kapitalisme (penjajahan) melainkan bawaan yang diberikan Tuhan. Padangan tersebut merupakan salah satu wacana yang terus ditanamkan oleh pemerintah kolonial sehingga terinternalisasi dalam diri rakyat Hindia yang mengakibatkan rakyat Hindia merasa kemiskinan yang dialami adalah takdir yang tak bisa diganggu gugat. Dalam novel Student Hidjo dan Rasa Merdika juga tidak terdapat bahasa cabul atau penggambaran adegan yang melanggar nilai-nilai kesusilaan. Memang dalam Student Hidjo, tokoh utama novel tersebut Hidjo, melakukan seks bebas dengan gadis Belanda bernama Betje. Namun, hal tersebut digambarkan Marco dengan kata-kata yang ‘biasa’ sehingga tidak menimbulkan kesan porno di otak pembacanya. Prilaku Betje yang terus menggoda Hidjo juga merupakan kritik terhadap kelakuan bangsa yang menganggap dirinya lebih berbudaya.
No comments:
Post a Comment