Novi Diah Haryanti[1]
Pada acara bedah buku “Istana
Jiwa” 24 April lalu di GoetheHaus, walau tidak hadir, Maria Hastiningsih
memberikan ulasan terkait novel sejarah yang ditulis oleh Putu Oka Sukanta
(POS). Buat saya, poin yang menarik ialah bagaimana Hastiningsih menutup
tulisan tersebut dengan sebuah paragraf, “... Istana Jiwa, telah
melengkapi sejarah dari perspektif korban kekerasan politik. Kehancuran
keluarga dan bagaimana perempuan mempertahankan hidup dirinya dan anak-anaknya
di masyarakat yang menghukum mereka dengan berbagai stigma pasca G-30S, tak
pernah ada tempatnya dalam Sejarah Nasional; sejarah sebagai 'His-story'. Kita
yang wajib mencatat 'Her-story'.”[2]
Dalam usahanya mencatat
“her-strory” POS menggunakan banyak tokoh perempuan, mulai dari yang utama,
tokoh ibu dan anak, yaitu Maria (Ria) dan Ibu Suri, juga para istri dan kekasih
kelompok kiri, yaitu Kirtani, Ivone, Hwani, Ninuk, dan Savitri. Lewat
suara-suara merekalah pembaca mengetahui dan merasakan sulitnya menjadi bagian
dari tragedi 65.
Di awal cerita,
kita dikenalkan pada tokoh Maria, anak Bung Rampi yang merupakan orang penting
di Partai Komunis Indonesia (PKI). Maria juga merupakan aktivis Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang rajin pergi ke gereja, menjadi anggota drumband
dan suara merdunya kerap dipakai Paduan Suara Gereja ataupun paduan suara
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kisah cintanya dengan Larsono yang merupakan
anggotan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), kandas lantara perbedaan
agama di antara mereka. Keteguhan Maria mempertahankan keyakinan agamanya,
mematahkan mitos yang selama ini berkembang bahwa orang komunis tidak beragama.
Selain itu, tampaknya POS tidak ingin kisah cinta beda agama ini mengambil
porsi yang cukup besar hingga mampu menghadirkan konflik antara Maria dan
Larsono. Bagi mereka, perjuangan dan keyakinan politiklah yang utama, hal
tersebut tampak pada kutipan berikut ini.
“Pada
waktu demonstrasi besar-besaran di Kedutaan Inggris, mereka bertemu, karena
CGMI dan GMNI adalah kelompok mahasiswa yang mendukung ideologi Soekarno dengan
manifesto politiknya yang anti-imperialisme, neokolonialisme, habis-habisan.”
(2012: 9)
Pascaputus dengan Larsono,
Maria semakin aktif berorganisasi. Tanpa persejutuan Bung Rampi, Maria masuk
sebagai anggota PKI. Sayangnya masa kejayaan partai tak lama ia rasakan karena
terjadinya peristiwa G30S. Berbeda dengan orang-orang yang ketakutan akan
diciduk oleh petugas, kekhawatiran Maria bukanlah kekhawatiran akan ditangkap
melainkan, “Maria sedih karena partai yang mendadak hancur. Partai yang
kupercaya akan memperbaiki kehidupan rakyat. Aku sedih sekali, aku kehilangan. Sepertinya,
keluarga-keluarga kita akan menjadi buronan,” (h.57).
Penderitaan Maria pun dimulai,
cita-citanya untuk menjadi dokter pupus. Ayahnya, Bung Rampi, ditangkap dan
akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Untuk bertahan hidup, Maria menjadi jurnalis di
Samudra Raya. Pada saat gerakan antisoekarno semakin kuat dan
sistematis, Maria ditangkap bukan karena dianggap Soekarnois, tapi karena ia
bekas anggota CGMI dan dituduh melakukan penyusupan.
Maria ditahan selama empat
bulan. Selama itu, ia berusaha tegar dan tidak jatuh. Maria bahkan tidak
menghubungi ibunya untuk mengurangi kekhawatiran sang ibu. Beruntung selama itu
ia tidak mengalami tindak perkosaan seperti ditakutkan ibunya. Kekhawatiran
Ibunya bahwa Maria akan sulit menemukan jodoh ternyata tidak terbukti. Maria
menikahi Anton, mantan aktivis GMNI.
Berbeda dengan tokoh Maria
yang identitasnya sejak awal sudah digambarkan dengan jelas oleh pengarang,
nama Ibu Suri baru muncul pada halaman 140. Pada mulanya, pembaca mengenal
sosok Ibu Suri lewat Maria, seperti tampak pada kutipan berikut, “ Maria
memandang ibunya lamat-lamat. Sosok ibunya berubah seperti sosok Kartini, seperti
yang ia ketahui dari foto buku sejarah. Perempuan berkonde, pakai baju kebaya
dan kain batik, juga matanya bening bagai danau yang menyimpan kekayaan batin
dan ternilai harganya” (h.38). Tidak hanya itu, dimasa mudanya Ibu Suri juga ikut berjuang melawan penjajah dan bergabung
di Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) cikal bakal Gerwani. Akan tetapi,
pascapenikahan dengan Bung Rampi tidak diceritakan bagaimana kehidupan
berorganisasi Ibu Suri.
Peran Ibu Suri tampak saat
suaminya Bung Rampi ditangkap oleh tentara. Berbeda dengan orang-orang yang
tampak kebingungan dengan “dibawanya” keluarga mereka, reaksi Ibu Suri lebih
banyak diam. Untuk menghidupi keluarganya ia menjual kacang goreng dan telur
asin. Tidak hanya itu, Ibu Suri juga harus menahan rasa laparnya karena hanya
makan sekali sehari dan membiarkan kakinya sakit karena terlalu lama menjahit.
Beban
yang dialami Ibu Suri membuat tubuhnya susut 10 kg sejak penculikan
suaminyanya. Rambutnya pun
sudah berubah dengan cepat, rontok, dan berwarna keputihan. Meskipun demikian,
senyum tak pernah hilang dari wajah Ibu Suri. Ketegarannya pun tampak dari
pesannya pada Maria, ”Nduk, jangan sering mengeluh. Mengeluh berarti
lemah. Kita harus kuat,” (h.167). Hal tersebut membuat Maria menyamakan rasa
cintanya kepada partai seperti rasa sayang pada ibunya, sebagaimana tampak dari
kutipan berikut.
”Rasa sayang dan cinta
kepada partai melebih rasa sayang kepada bapaknya. Mungkin seimbang dengan rasa
sayang kepada ibunya, terutama sekali ia melihat bagaimana ibunya tanpa
mengeluh mengatasi kesulian yang menerkamnnya. Ia merasakan ketangguhan ibunya.
Jiwa perempuan yang tangguh.” (2012: 172)
Sebagai istri dari seorang
tokoh komunis, terselip sebuah keinginan sederhana agar saat keluar dari
penjaran suaminya dapat berubah menghargai pentingnya keluarga. Selama ini, Ibu
Suri merasa dikesampingkan. Bung Rami tidak punya waktu untuk keluarga dan
mengurus rumah. Seluruh pekerjaan rumah, Ibu Surilah yang mengurusinya bahkan
untuk pekerjaan-perkerjaan yang dianggap miliki laki-laki seperti membetulkan
genting yang bocor, tampias, WC yang mampet, sampai membayar tagihan-tagihan.
Hingga Ibu Suri menganggap Bu Rampi sebagai “raja kecil” dalam rumah. Kondisi
itulah yang membuat Ibu Suri merasa perlu memperingatkan Maria sebagaimana
tampak pada kutipan berikut.
“Selalu dalam keadaan kritis
perempuan ambil alih semua urusan. Ia menjadi barisan terdepan. Kalau sudah
aman laki-laki datang menggeser kita ke dapur sana. Nanti Nduk, kalau masih ada
yang mau menikahimu, hal hal seperti ini dibicarakan terlebih dulu. Harus dites
calon suamimu, Nduk.” (2012: 195)
Bukannya
berubah, Rampi justru semakin rusak. Kehancuran partai, kemarahan pada penguasa
orde baru, hilangnya rasa percaya diri, memperlihatkan rasa frustasi Rampi.
Maka, imbasnya sebagai istri, Ibu Suri mendapatkan tekanan psikologis dengan
berbagai macam tuduhan terhadap dirinya. Bahkan, Rampi menuduh Ibu Suri “jualan
lendir” untuk menghidupi keluarga dan membeli rumah baru bagi mereka. Saat Ibu
Suri melawanan dengan mengatakan “Kowe ora tahu diuntung! Bui tidak menyebabkan
kowe menjadi lebih baik terhadapku.” Rampi menamparnya, kemudian menghilang.
Kisah Ibu Suri berakhir tragis dengan penghianatan yang dilakukan Rampi. Dua
tahun menghilang, Rampi menikahi Rakyati. Tiga tahun berselang dari pernikahan
itu, Rampi meninggal. Rasa kecewa, sakit hati, dan terhina, membuat Ibu Suri
sakit-sakitan hingga akhirnya ia pun “pergi”.
Kisah keluarga komunis ini ditutup dengan
kejatuhan orde baru serta penegasan bahwa perjuangan dan kesamaan idelogi
merupakan hal yang terpenting. Kemunculan
Rakyati di muka rumah Maria menegaskan hal tersebut. Maksud kedatangan
Rakyati untuk menyampaikan dua pesan alm. Rampi. Pertama, menceritakan bahwa
pernikahan Bung Rampi dan Rakyati terjadi karena mereka merasa senasib
seperjuangan. Keluarga Rakyati merupakan korban dari tragedi 65. Ia ingin
meneruskan perjuangan bapak-ibunya dan tidak ingin punya anak dari kelompok
yang memusuhinya karena itulah ia meminta Rampi menikahinya dengan harapan
masih ada benih yang mampu tumbuh di rahimnya (h.321). Anak itulah yang
nantinya diharapkan mampu meneruskan cita-cita perjuangan mereka hingga diberi
nama Fajar Rampindo yang berarti cahaya pagi penerus Bapak Rampi yang
Indonesia.[3]
Pesan kedua, Maria diminta untuk meminjamkan buku-buku lamanya pada Fajar. Permintaan
kedua ini menunjukan betapa buku menjadi alat penting bagi penyebaran ideologi
yang tak lekang waktu. Terkait dua permintaan Rampi, Maria menanggapinya dengan
dingin dan tanpa permisif. Luka yang ditorehkan oleh bapaknya membuat
“perjuangan dan ideologi bersama” yang sebelumnya penting, hilang sudah.
Peristiwa
yang terjadi pada Ibu Suri dan Maria menggambarkan bagaimana perempuan-perempuan
korban 65 harus menghadapi beban ganda, pertama represi yang dilakukan oleh
negara bahkan masyarakat terhadap mereka yang dianggap komunis –atau memiliki
hubungan darah dengan anggota PKI- sehingga mereka harus lari, bersembunyi dan
menghidupi dirinya. Kedua, sistem partriarki yang memosisikan mereka harus
tunduk dan memaklumi para lelaki atau “kaum perempuan boleh merdeka selama
meraka tidak merusak posisi (kekuasaan) laki-laki”.
Sekali
lagi, Istana Jiwa memperlihatkan kekonsistenan Putu Oka Sukanta pada
tema seputar G30S. Konsistensi pada tema inilah yang membuat POS mendapat
tempat di hati pembacanya.[4]
Walaupun terdapat beberapa tokoh yang tampak dipaksakan kemudian hilang tanpa
penjelasan,[5]
novel ini menjadi penting karena menampilkan perspektif yang berbeda, yaitu
perempuan-perempuan yang sadar akan resiko perjuangan politiknya. Cerita yang
dibuat gamblang mulai dari penyebutan tanggal, peristiwa, dan nama membuat
novel ini menjadi bagian dari “gerakan melawan lupa”.
[2] Makalah Maria
Hastiningsih, Istana Jiwa, Antara Ideologi dan 'Sisterhood' dapat diunduh di http://kompasnewsupdates.blogspot.com/2012/04/inti-net-fwmaria-hartiningsih-bedah.html
[5] Novel ini banyak sekali menyebutkan nama tokoh seperti Kirtani, Ivone,
Safitri, Asmi, Hwani, Narti. Perempuan-perempuan tersebut memiliki ceritanya sendiri, mulai dari mencoba
mempertahankan rumah, berjudi untuk memenuhi kebutuhannya, sampai menikah lagi
dengan orang lain karena terpaksa. Hanya saya, dibagian akhir tidak dijelaskan
bagaimana kelanjutan nasib mereka. Apakah suami mereka ikut dibebaskan seperti
Rampi dan Maruto atau tidak, apakah mereka akhirnya menang dalam perjuangan
atau kalah. Hilang tanpa
penjelasan inilah yang membuat saya hanya mengulas Maria dan Ibu Suri karena
hanya merekalah yang diceritakan secara utuh oleh POS.
No comments:
Post a Comment