Bagian 1
Jika kita membaca salah satu tulisan Jassin dalam bukunya yang bertajuk
Sastra Indonesia sebagi Warga Sastra Dunia, rasanya menarik dan cukup
menggelitik. Menarik karena label “Paus Sastra” membuat pembacaan
terhadap karya Jassin tidak pernah usai, namun menjadi menggelitik jika kita mencoba melihatnya dengan kacamata kekinian. Maka, tidak
salah rasanya jika kita melihat dan mempertanyakan kembali apa
yang dipersoalkan Jassin dalam tulisan "Kenyataan Artistik Tidak Identik Dengan Kenyataan
Objektif". Dalam tulisan tersebut, Jassin mencermati tiga persoalan dari empat karya
yang diulasnya, yaitu 1) karya sastra sebagai hasil imajinasi, tidak
lebih dari itu, 2) hubungan antara pengarang, karya, dan isinya ditinjau
dari kaidah agama, serta 3) sikap pengarang.
Menurut Jassin, imajinasi adalah sesuatu yang hidup, suatu proses,
dan kegiatan jiwa. Dengan demikian, imajinasi yang dituangkan
ke dalam sesuatu karya seni, tidaklah identik dengan kenyataan sejarah,
pengalaman, ataupun ilmu pengetahuan. Dapat pula dikatakan, kenyataan
artistik tidak identik dengan kenyataan obyektif atau sejarah.
Buat
saya, pernyataan Jassin tersebut cenderung ragu-ragu dan tidak tegas.
Kata identik sendiri mempunyai arti; sama benar, tidak berbeda
sedikitpun. Tidak identik berarti, tidak sama benar. Lalu apakah maksud
pernyataan Jassin tersebut? Apakah kernyataan artistik ‘tidak sama
benar’ dengan kenyataan obyektif, -dalam hal ini berarti masih ada unsur
yang sama- atau kenyataan artistik tidak sama dengan kenyataan objektif,
karenahasil karya sebagai imajinasi tidak lebih dari itu.
Sebagai kritikus sastra Jassin tak lepas dari
teori-teori yang berkembang pada abad ke-18 dan 19, salah satunya adalah
teori-teori Abrams yang diambilnya dari "framework" yang sederhana tapi cukup membantu, yaitu Universe (Semesta), Work (Karya), Artist (Pencipta), dan Audience (Pembaca) . Memang, Jassin tidak menyingung langsung tentang
keempat teori Abrams tersebut. Namun, dari analisisnya setidaknya terdapat
tiga dari empat teori yang ditawarkan Abrams untuk menganalisis karya
sastra yaitu, mimetik, ekspresif, pragmatik yang digunakan Jassin secara
acak dan bersamaan.
Teori sastra yang dapat digunakan untuk menelaah hubungan karya
dengan kenyataan adalah teori mimetik. Menurut Abrams (1987), The
Mimetic Orientation- the explanation of art as essentially an imitation
of aspects of the universe. Teori mimetik lahir dari pemikiran
Plato yang menganggap bahwa karya seni tidak bisa mewakili kenyataan
sesungguhnya, melainkan hanya sebuah peniruan. Pernyataan Plato dan
Abrams inilah yang menghubungan antara tulisan Jassin dan teori mimetik.
Dalam buku "H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya" yang disusun
Amelz dan diterbitkan oleh Bulan Bintang pada 1952, diceritakan
Tjokroaminoto pernah bermimpi bertemu Rasulullah yang mengajarinya
beberapa ayat Alquran. Maka, menurut Jassin, jika ia seorang pelukis
maka mungkin saja ia melukiskan wajah nabi seperti yang dilihatnya dalam
mimpi, dalam hal ini berarti Tjokroaminoto meniru gambar wajah nabi
dari mimpinya. Tidak hanya itu, pada halaman berikutnya, Jassin pun
menuliskan, seniman menggunakan bahan-bahan dari realitas dan menyusunya
kembali dalam susunan yang mempunyai realitasnya sendiri.
Pernyataan-pernyataan tersebut, memperlihatkan bagaimana Jassin mencoba
melihat karya sebagai tiruan dari apa yang dilihat oleh pengarangnya,
baik lewat mimpi, ataupun realitas. Itulah yang membuat Jassin
menyimpulkan bahwa kenyataan artistik bukanlah kenyataan obyektif atau
historis. Tapi merupakan imajinasi si pengarang sendiri.
Maka, meloncatlah Jassin dari teori mimetik ke teori ekspresif.
Menurut Abrams di dalam teori ekspresif seniman menjadikan dirinya sebagai element terpenting (the
major element) dalam penciptaan suatu karya. Jassin mengambil contoh Davina Comedia.
Seharusnya, pembaca tak perlu berpolemik terhadap karya tersebut, karena
merupakan imajinasi pengarang sehingga tak perlu memperdebatkan isinya,
apalagi meninjaunya dari sisi agama. Memang Jassin tidak mengulas
Davina Comedia dengan kaidah agama, namun, dia menyorot profesi penyair
dari sudut pandang agama. Jassin pun mengutip surah XXVI 24-26, Tafsir
Quran susunan H Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, yang menulis, jika
diukur dari kaidah agama tidak ada penyair atau pengarang yang bisa
lolos masuk surga, sebab mereka pernah sekali waktu melanggar atau
meragukan kaidah agama dalam imajinasinya, atau perbuatannya. Para pun
penyair mempunyai reputasi buruk menurut Al Quran. Mereka tidak
mempunyai dasar keimanan dan amal baik, hanya berkhayal dengan tak tentu
tujuan dan arah. Walau pada kalimat selanjutnya, Jassin seakan melontarkan
‘apology’ dengan menjelaskan bahwa dalam surah XXVI, 227 dijelaskan pula
pengarang yang baik sebab mereka beriman dan mengejarkan hal baik,
mengingat Tuhan sebanyak-banyaknya. Namun hal tersebut menjadi janggal dengan
komentar yang diberikan Jassin berikut ini:
“ragu-ragu bertanya Chairil Anwar tentang surga yang kata Masyumi dan Muhammadiyah bersungai susu dan bertabur bidadari.... dan bagaimana kita harus menanggapi sajak-sajak Amir Hamzah yang mencoba berkomunikasi dengan Tuhannya dan malah mengiaskan Tuhan dengan Kucing yang mempermainkan mangsanya”
Apakah menurut Jassin, Chairil dan Hamzah merupakan contoh dari
pengarang yang beriman dan mengerjakan hal baik atau justru pengarang
pendusta? Selain itu, menurut Jassin sebuah hasil imajinasi tidaklah
sama dengan kitab pelajaran ilmu fiqih. Hal ini dilihat dari karya A.A
Navis, Datang dan Perginya, yang menceritakan pernikahan insest kakak
beradik. Jika dilihat dari kehidupan sehari-hari rasanya tidak mungkin
orang tua yang membiarkan kakak beradik menikah walau atas mengatasnamakan
kebahagiaan. Namun, dalam cerpen ini Navis memilih mengorbankan perasaan
sang ayah untuk menjaga keutuhan rumah tangga anaknya.
Kontroversi
cerpen Navis menurut Jassin menimbulkan rasa kurang puas dalam diri
pengarangnya, sehingga sebelas tahun berselang, lahirlah novel Kemarau
yang mendapat banyak perhatian bukan hanya karena novel ini
merupakah novel pertama Navis, tapi dalam novel ini, Navis kembali
menghidupkan cerpen Datang dan Perginya dengan akhir yang berbeda dengan cerpennya. Hal tersebut senada dengan yang
diungkapkan Navis dalam Ivan Adilla (2003), "melalui Kemarau ia memilih
agama sebagai pandangan hidup. Sebagai pengarang, Navis memang tertarik
pada humanisme, tapi humanisme yang terkontrol oleh agama"
(Lebih lengkap baca bagian 2)
No comments:
Post a Comment