Pendekatan ekspresif banyak digunakan pada abad ke-19 zaman
romantik. Di Indonesia pendekatan ini berkembang pada masa Pujangga Baru
yang dipelopori oleh Amir Hamzah, Sanusi Pane, ataupun JE Tatengkeng
dengan puisi liriknya bahkan menurut Teeuw dalam Ratna (2007)
sampai masa Sutardji Calzoum Bachri. Maka tidaklah mengherankan jika Chairil Anwar
dan Amir Hamzah membuat tulisan yang hanya dimengerti oleh penyairnya
sendiri.
Mengenai cerpen "Datang dan
Perginya", Jassin memberikan catatan "mungkin saja karya Navis
menggambarkan pengarang yang hanya mementingkan persoalan dalam hidup atau
pengarang menyerahkan suatu persoalan yang diangkat dari suatu peristiwa
untuk dikupas pembaca". Lebih lajut, Jassin menjelaskan ada dua pendapat
mengenai sikap pengarang dalam menampilkan suatu masalah. Pertama,
pengarang yang menampilkan suatu masalah dengan pemecahannya. Kedua
pengarang yang membiarkan permasalahan dikupas oleh pembaca sendiri.
Pendekatan terakhir yang digunakan Jassin adalah pendekatan
pragmatik yang memusatkan perhatian terhadap peran manfaat kepada pembaca. Menurut Ratna (2007)¸ dengan
mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah yang dapat
dipecahkan melalui pendekatan pragmatik adalah berbagai
tanggapan masyakat tertentu terhadap sebuah karya sastra. Berdasarkan sikap pengarang dalam menampilkan suatu masalah, maka
Jassin pun membagi pembaca kedalam dua golongan, pembaca pasif yang
sekadar menerima atau pembaca kreatif yang tergugah dan berpikir. Sebagai
penutup, Jassin menulis lebih menyukai karya yang dapat menimbulkan
pertikaian pendapat karena dengan begitu pembaca diajak berpikir,
mengemukakan bantahan dan mengajukan kesimpulan sendiri dibandingkan
dengan karya yang sekadar mengisahkan kejadian-kejadian dan gagasan yang
biasa saja.
Sebagai sosok yang dijuluki Paus Sastra Indoensia,
Jassin melakukan kritik terhadap karya dengan memasukan berbagai
pendekatan untuk menentukan bagus tidaknya suatu karya, salah satunya
adalah pendekatan agama. Hal ini membuat Jassin nampak mengedepankan
intuisi dibanding melakukan kritik analisis yang mendalam terhadap
karya.
Metode intuitif sendiri merupakan kemampuan dasar manusia dalam
upaya memahami unsur-unsur kebudayaan. Lebih lanjut, Ratna (2007)
menjelaskan metode ini sebagai upaya manusia untuk memahami kebudayaan
dengan pikiran dan perasaannya (intuisi), penafsiran, unsur-unsur, dan sebab
akibat. Salah satu yang menjadi ciri khasnya adalah komtemplasi,
pemahaman terhadap berbagai gelaja kultural dengan mempertimbangkan
keseimbangan individu dan alam semesta. Dalam ulasannya kali ini,
selain mencoba menganalisis karya dengan teori ekspresif, pragmatik, dan
mimetik, Jassin pun memasukan metode intuitif untuk melakukan analisis
karya. Metode intuitif ini sering kali digunakan untuk memahami karya
sastra, khususnya sebelum lahirnya strukturalisme.
Pustaka Acuan
Adilla, Ivan. 2003. A.A. Navis: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo
Jassin, H.B. 1983. Sastra Indonesia sebagi Warga Sastra Dunia. Jakarta: Gramedia.
Lambropoulos, Vassilis dan David Neal Miller. 1987, Twentieth Century
Literary Theory, New York: State University of New York Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya
No comments:
Post a Comment